KATA PENGANTAR
Om swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Hyang Widi Wasa atas berkat dan restu yang
diberikannya sehingga makalah mata kuliah Darsana ini bisa terselesaikan dengan
tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini, diantaranya: Ni Nyoman Sudiani, SE.,
S.pd.H., M.Fil.H sebagai
dosen pengampu mata kuliah Darsana, teman-teman dikelas semua yang telah
memberikan kami dukungan, dan semua pihak Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma
Nusantara Jakarta yang terkait dalam menyediakan sarana dan prasarana guna
mempermudah pencarian literature.
Makalah yang kami buat ini sangat jauh dari
kesempurnaan, sehingga kritik dan saran bagi pembaca sangat diharapkan guna
dijadikan pembelajaran pada pembuatan makalah yang akan datang. Terima kasih
atas partisipasinya semoga semua isi yang ada dalam makalah bermanfaat bagi
bembaca.
Om santi, santi, santi Om.
Jakarta, 2018
Sundari Janur Anggita
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sad Darsana berasal dari akar kata “drs” yang
bermakna “melihat”, menjadi kata darsana yang berarti “penglihatan” atau
pandangan. Dalam ajaran filsafat Hindu, Darsana berarti pandangan tentang
kebenaran. Sad Darsana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana
merupakan dasar dari filsafat Hindu.
Sad Darsana merupakan bagian penulisan Hindu yang
memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah
pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Weda secara menyeluruh
dibidang filsafat, (Maswinara, 1990). Filsafat merupakan aspek rasional dari
agama dan merupakan satu bagian integral dari agama.
Purva Mimamsa Darsana merupakan salah satu
pandangan dari Sad Darsana. Seperti ajaran Darsana lainnya, Purva Mimamsa juga
membahas tentang hakekat Brahman, Atman, dan Alam Material dan Moksa. Namun,
setiap pandangan memiliki etika serta pokok-pokok ajaran dengan penekanan yang
berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang
menjadi permasalahan sebagai berikut.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pandangan Purva Mimamsa Darsana
terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya dan Moksa?
2.
Bagaimanakah pokok-pokok ajaran dalam Purva Mimamsa
Darsana?
1.3 Tujuan
1.
Pembaca dapat mengetahui dan memahami pandangan
Purva Mimamsa Darsana terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya, dan Moksa.
2.
Pembaca dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok
ajaran dalam Purva Mimamsa Darsana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Purva Mimamsa
Kata Mimamsa, memiliki makna penyelidikan, yakni
penyelidikan yang sistematis terhadap Weda. Purwa Mimamsa secara khusus
mengkaji bagian Weda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian
yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula
dengan nama yang populer, yaitu Wedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Pendiri ajaran ini adalah Maha Rsi Jaimini. Sumber
utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab
Weda (Brahmana Kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia
adalah moksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan
upacara keagamaan seperti yang disebutkan dalam kitab suci Weda, (Sukro, 2014;
Online).
2.2 Sejarah Purva Mimamsa
Sebagai tokoh aliran Mimamsa, Rsi Jaimini (murid
Rsi Vyasa) yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan
dalam kitab Mimamsa-sutra. Dalam perkembangannya, ajaran Mimamsa-sutra kemudian
dikomentari oleh para pengikutnya, seperti Sabaraswamin sekitar abad ke 4
Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Dan yang terakhir oleh Kumarila Bhata
sekitar tahun 700. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya terjadilah dua
aliran dalam Mimamsa yaitu di satu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya
adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada ajaran
Mimamsa walaupun pokok ajaran mereka pada prinsipnya tidak berbeda, (Rifqi, 2012;Online).
Mimamsa dibedakan menjadi dua, yaitu Purva Mimamsa
dan Uttara Mimamsa yang juga disebut dengan Vedanta. Purva Mimamsa atau
Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab
suci Veda, suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian dari Veda
yang hanya berurusan masalah mantra dan Brahmana saja, (Sudiani, 2012;36).
2.3 Pandangan Purva Mimamsa
a) Brahman
Veda menurut Mimamsa tidak memiliki penyusun, baik
manusia maupun Tuhan. Mimamsa tidak memberikan tempat kepada Tuhan dalam
sistemnya. Dunia bukan diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia tidak berawal dan
berakhir. Tidak ada penciptaan dan peleburan, alasannya adalah seandainya dunia
ini diciptakan oleh TuhanYang Maha Esa dan Maha Pengsih, maka tidak mungkin di
dunia ini ada penderitaan. Namun, mimamsa bukan bersifat Atheis, karena mimamsa
percaya dengan adanya Veda yang bersifat kekal yang didalamnya terdapat
Dewa-Dewa sebagai manifestasi Tuhan, (Sudiani, 2012;40).
b) Atman
Menurut Mimamsa, jiwa berbeda dengan tubuh, indriya
dan budhi. Jiwa jumlahnya sangat banyak dan tak terhitung, tiap tubuh ada satu
jiwa. Semua jiwa memiliki kesadaran yang bersifat kekal, berada dimana-mana dan
meliputi segala sesuatu. Disamping menjadi subjek pengetahuan, jiwa juga
menjadi objek pengetahuan, artinya; kesadaran akan adanya objek mengandung di
dalamnya kesadaran akan adanya pribadi. Pribadi itu segera dinyatakan oleh
objek yang dikenal, umpamanya di dalam ucapan “Aku melihat sebuah meja”. Ucapan
ini bermaksud menyatakan adanya sebuah ‘Meja’ dan sekaligus menyatakan adanya
‘Aku’. Demikianlah pribadi sekaligus menjadi subjek dan objek pengetahuan, hal
ini disebabkan karena dalam pribadi ada dua unsur yaitu; unsur substansi dan
unsur kesadaran, (Sudiani, 2012;39-40).
c) Maya
Ajaran Mimamsa adalah ajaran yang bersifat pluralistik dan realististik dalam artian jiwa itu berjumlah bayak atau jamak, sedangkan alam semesta adalah nyata dan berbeda dengan jiwa. Mimamsa menolak pandangan Budha dan Advaita yang menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya dengan adanya jiwa, sorga, neraka dan para Dewa yang semuanya ini dapat dicapai dengan upacara yang tepat melalui kitab suci Veda, (Sudiani, 2012;37).
d) Moksa
Pada mulanya, tujuan hidup manusia menurut Mimamsa adalah pencapaian sorga, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Mimamsa menyatakan bahwa tujuan hidup manusia tertinggi adalah kelepasan, (Sudiani, 2012;40).
2.4 Pokok – Pokok Ajaran Mimamsa Darsana
Sistem filsafat Mimamsa termasuk dalam kelompok
Astika yang ajarannya didasarkan sepenuhnya oleh kitab suci Weda. Mimansa
mengakui kewenangan Weda sebagai kitab suci yang mengandung kebebaran yang
sejati. Sebagai filsafat Mimamsa mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Weda.
Kesetiaan dan kejujuran yang mendasari keyakinan Weda terdiri dari
bermacam-macam sistem yaitu:
1.
Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari
kematian dan menikmati hasil ritual di sorga,
2.
Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang
melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan,
3.
Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan
semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah sebuah ilusi.
Tujuan utama sistem dilsafat ini adalah untuk
mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab suci
Weda. Mimamsa berasal dan berkembang dari aspek ritual kebudayaan Weda dengan
objek sasaran adalah untuk membantu dan menopang praktek keagamaan, melalui dua
cara yaitu:
1.
Memberi metode interprestasi dan bantuan terhadap
aturan-aturan Weda yang menyangkut keagamaan, sehingga dapat dimengerti,
diselaraskan dan dapat diikuti tanpa kesulitan.
2.
Memberikan pertimbangan-pertimbangan filosofis dari
kepercayaan-kepercayaan dalam hal mana upacara agama itu tergantung.
Pokok pembicaraan dalam sistem Mimamsa ialah
pengukuhan kewibawaan Weda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara
keagamaan, maka dari itu Mimamsa disebut karma Mimamsa karena Brahmana
merupakan karma kanda dari Weda. Upacara keagamaan ini sudah ada pada jaman
Brahmana dan sebagai hasilnya sudah termuat dalam Kalpasutra. Mimamsa juga
membahas ilmu tentang suara dan mantra, tetapi perhatian pokok Mimamsa adalah
penggunaan meditasi dengan ritual. Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan
realistis, artinya Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa, sedangkan alam
semesta adalah nyata dan berbeda dengan jiwa, (Sudiani, 2012;36-37).
2.5 Metafisika Mimamsa Darsana
A. Pandangan umum Mimamsa
Mimamsa menolak pandangan Buddha dan Advaita yang
menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya dengan adanya jiwa,
sorga, neraka, dan Para Dewa yang semuanya ini dapat dicapai melalui upacara
yang tepat menurut kitab suci Weda. Jiwa dan unsur-unsur materi pembentukan
dunia ini menurut Mimamsa bersifat kekal atau permanen. Semua benda yang ada di
dunia ini ditentukan oleh hukum karma phala. Ada tiga komposisi didunia
ini yaitu:
1.
Kehidupan jasmani sebagai tempat jiwa untuk
menikmati akibat perbuataannya dari masa-masa kehidupan yang silam
(Bhogayatana).
2.
Indriya yang dipergunakan sebagai alat oleh jiwa
untuk menikmati adanya rasa suka-duka dalam hidup ini (Bhoga Sadana).
3.
Objek-objek yang merupakan buah dari suka-duka.
Mimansa tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan
mengenai teori tentang atom sama dengan yang dikemukakan oleh Veisiseka.
Menurut Mimamsa atom-atom ini tidak membutuhkan pengaturan dari Tuhan,
melainkan diatur oleh hukum karma
Metafisika Mimamsa bersifat pluralistis dan
realistis, artinya percaya dengan adanya jumlah jiwa yang tak terhitung dan
dunia yang nyata, tetapi keduanya berbeda. Mimamsa percaya dengan hanya
realitas seperti kenyataan adanya energi, moral, surga, neraka dan sebagainya
yang tidak dapat diketahui melalui pengalaman indriya, (Sudiani, 2012;36-37).
Menurut Rsi Jaimini kitab suci Weda secara praktis
hanyalah Tuhan semata dan Weda yang abadi tersebut tidak memerlukan dasar
apapun untuk sandarannya. Tidak ada pewahyu illahi, karena Weda itu sendiri
merupakan otoritasnya, yang merupakan satu-satunya sumber pengetahuan Dharna
kita. Sutra pertama dari Mimamsa berbunyi “Atthato Dharmajijnasa”, yang
menyatakan bahwa keseluruhan tujuan dari sitemnya, yaitu keinginan untuk mengetahui
dharma atau kewajiban yang terkandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan
kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab suci Weda. Dharma itu sendiri
memberikan ganjarannya, tujuan purwa Mimamsa adalah untuk menyelidiki kedalam
sifat dari dharma. (Maswinara,1998;56).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Cara Mencari (Epistimologi Purva Mimamsa)
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah
pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. Tidak seperti teori pengetahuan
lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang
benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun
orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu
sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang
memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim
yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan
itu sendiri.
Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan
pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata
mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu
ialah:
1. Pratyaksa (Pengamatan Langsung)
Pratyaksa merupakan sumber pengetahuan yang paling
tinggi. Proses untuk mengetahui keberan dari suatu pengetahuan dengan
menggunakan indria, dalam hal ini indria berhubungan langsung dengan objek yang
diamati. Tetapi, ada juga pengamatan yang bersifat transendental yang hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yakni sebagai berikut:
a. Nirvikalpa
Merupakan suatu pengamatan terhadap objek tanpa
penilaian, misalnya: ketika seseorang melihat sapi dia hanya mengetahui
keberadaan sapi itu tanpa mengetui lebih luas tentang seberapa besar tubuhnya,
makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.
b. Savikalpa
Savikalpa merupakan suatu pengamatan terhadap objek
dengan suatu penilaian. miaslnya: ketika seseorang melihat sapi, dia pasti juga
akan mengamati tentang tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta
perawatan untuk pemeliharaannya.
2. Anumana (Penyimpulan)
Anuamana berarti cara untuk mendapatkan kebenaran
suatu pengetahuan dengan cara menyimpulkan. Penyimpulan adalah suatu proses
penalaran dimana akan melewati suatu tahapan-tahapan berpikir tertentu yang
diperlukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Ada 5 tahapan dalam proses
penyimpulan antara lain:
1.
Pratijna: memperkenalkan objek permasalahan tentang
kebenaran pengamataan misalnya gunung itu berapi.
2.
Hetu: alasan penyimpulan dimanadalam hal ini
terlihat ada asap yang keluar dari gunung tersebut
3.
Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum tentang
suatu masalah, yang ada dalam hal ini adalah bahwa segala yang berasap itu
tentu ada apinya.
4.
Upanaya: Pemakaian aturan umum itu pada
kenyataannya yang terlihat, yaitu bahwa jelas gunung itu berapi.
5.
Nigamana: berupa penyimpulan yang benar dan pasti
dari seluruh proses sebelumnya, dengan pernyataan bahwa gunung itu berapi, (Maswinara, 1999;130).
3. Sabda (kesaksian)
Bagi para Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting
adalah kesaksian atau sabda, yaitu sabda suci Weda. Weda dipandang bukan
sebagai hasil karya manusia dan juga hasil karya Tuhan, karena Weda tidak
disusun oleh manusia dan juga oleh Tuhan. Weda adalah kekal.
Aliran Mimamsa yang meberikan perhatian yang besar
kepada sabda sebagai sumber pengetahuan, karena sabda harus membuktikan
kekuasaan dari Weda, yaitu yang bersifat pribadi dan yang tidak bersifat
pribadi. Yang Pertama yang bersifat tertulis atau lisan dari seseorang,
sedangkan yang kedua menyatakan kekuatan daripada Weda itu sendiri. Mimamsa
tertarik pada kekuatan Weda yang bersifat pribadi karena memberikan arah untuk
melakukan upacara keagamaan. Weda dipandang sebagai kitab yang mengandung
perintah untuk melakukan kewajiban dan bersifat kekal.
4. Upamana (Perbandingan)
Pandangan Mimamsa mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Mimamsa selain menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima perbandingan pula sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Mimamsa pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang diterima. Pengetahuan ini tidak dapat diklasifikasikan dalam persepsi, karena objek yang dikenal sama. Sabaraswamin mendefinisikan upamana sebagai pengetahuan tentang suatu objek yang tidak diterima dengan objek lain yang dikenalnya.
5. Arthapatti (perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berawalan satu dengan yang lainnya. Bila memberikan penjelasan kepada orang lain tentang sesuatu benda yang belum pernah dilihat sebelunnya, kita harus menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenal, sehingga orang itu akan mudah mengerti. Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan pula merupakan suatu bentuk perbandingan.
6. Anupalabdi (tanpa persepsi)
Anupalabdi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek dikarenkan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada yang menyakan tentang ketidakadaan itu, makan jawabannya adalah coba lihat dan katakan apakah ada meja dikamar itu, maka jawabannya adalah cobalah lihat dan katakan.
3.2 Kegunaan (Aksiologi Purva Mimamsa)
a. Kedudukan Weda di dalam Agama
Mimamsa tidak percaya dengan adanya penciptaan di
atas dunia ini. Mimamsa juga tidak percaya tentang adanya Tuhan yang
kekuasaanya berada di atas atau minimal setara dengan Weda. Menurut Mimamsa,
Weda itu sendiri mendasari kebenaran yang abadi atau hukum-hukum tentang adanya
perintah Weda. Weda menyiapkan ciptaan dari apa yang baik dan apa yang salah.
Kehidupan yang baik adalah kebaikan yang mengabdi kepada kesetiaan terhadap
perintah-perintah Weda.
b. Kewajiban yang Mendasar
Ritual atau upacara yadnya haruslah karena
berkaitan dengan Weda, bukan karena dengan tujuan yang lainnya. Pengorbanan
yang dilakukan jaman Weda dikalkulasi untuk menyenangkan Dewi Matahari, Dewa
Hujan dan Dewa-Dewa yang lain, atau hanya untuk memenangkan perang dan mengusir
penyakit. Mimamsa merupakan kelanjutan dari pada sistem keagamaan yang
bersumber dari Weda, maka itu upacara keagamaan secara detail lebih mendapat
tempat dari pada Dewa-Dewa itu sendiri, yang secara perlahan-lahan menjauh dan
menghilang ke dalam atau menjadi objek dari struktur. Dewa itu penting
hanya sebagai sesuatu, yang namanya harus diberikan, dimana dilakukan
upacara. Tetapi tujuan dasar dari pada melakukan upacara yadnya itu adalah
bukan persembahan untuk menyenangkan Dewa apapun.
Mimamsa percaya bahwa perbuatan yang wajib untuk
dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan kepada pelakunya, tetapi karena
kita harus melakukannya. Mimamsa percaya suatu kewajiban tidak harus dilakukan
dengan tujuan yang menarik, tetapi alam-lah yang mengajurkan agar seseorang
melakukan tugasnya. Seorang filsuf barat yang bernama Kant menganggap
benar adanya Tuhan, dan menurut Kant pemujaan kepada Tuhan adalah kewajiban
yang tertinggi, sedangkan menurut Mimamsa kewajiban adalah kekuasaan Weda
secara pribadi yang berkaitan dengan tugas.
c. Kebaikan yang Tertinggi
Pada awalnya kebaikan menurut Mimamsa adalah
pencapaian sorga atau suatu keadaan di mana ditentukannya kebahagiaan sejati.
Sorga dianggap sebagai akhir dari suatu upacara keagamaan, akan tetapi pada
akhirnya Mimamsa menerima kelepasan sebagai tujuan tertinggi setelah
penulis-penulis Mimamsa mendapat pengaruh dari pemikir-pemikir dari sistem filsafat
India lainnya.
Menurut Mimamsa, jalan untuk mendapatkan kelepasan
adalah pelaksanaan upacaara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda
yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang
terlarang.
Kebebasan adalah keadaan yang tidak didasari, bebas
dari kesenangan dan rasa sakit. Menurut Mimamsa keadaan mental dan kesadaran
tidak ada pada jiwa, muncul kesadaran dan keadan mental itu, bila jiwa
dikaitkan dengan objek melalui tubuh dan bagian-bagian tubuh lain. Kebebasan
berarti lenyapnya hubungan jiwa dengan tubuh dan kembali kepada keadaan yang
semula, yang bersifat kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Pendiri Purva Mimamsa adalah Rsi Jaimini (murid
Maha Rsi Vyasa). Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan
Utara Mimamsa. Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama.
Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Weda yang pertama yaitu kitab
Brahmana. Sedangkan Utara Mimamsa atau Wedanta yang artinya penyelidikan
sistematis. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Weda yang kedua, yaitu
kitab Upanisad.
a. Pandangan Mimamsa
1.
Brahman: Mimamsa tidak memberikan tempat kepada
Tuhan di dalam sistemnya. Dunia tidak diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia tidak
berawal dan berakhir. Alasannya, jika dunia diciptakan Tuhan yang Maha
Pengasih, tidak mengkin ada penderitaan di dunia ini. Mimamsa hanya percaya
Veda yang bersifat kekal, tidak disusun oleh Tuhan, Dewa, maupun manusia.
2.
Atman: Mimamsa bersifat pluralisme yakni mengakui
kejamakan jiwa atau atman yang berada disetiap tubuh mahluk hidup. Jumlah atman
tak terhingga, bersifat kekal, berada dimana-mana, dan meliputi segala sesuatu.
3.
Maya: Mimamsa bersifat realistik, artinya percaya
bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam
hidup ini bukanlah sebuah ilusi (menolak ajaran Budha dan Advaita).
4.
Moksa: Pada awalnya, Mimamsa tidak mengakui adanya
Moksa tetapi hanya meyakini adanya sorga dan neraka. Namun, setelah mendapatkan
pengaruh dari filsuf-filsuf di India akhirnya mengakui adanya kelepasan sebegai
tujuan tertinggi.
b. Pokok-pokok ajaran Purva Mimamsa
1.
Mengakui otoritas Kitab Suci Veda (Astika)
2.
Perhatian pokok ajaran Mimamsa adalah meditasi dan
ritual (upacara keagamaan)
3.
Tujuan utama sistem dilsafat ini adalah: (1). Untuk
mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab suci Weda
sehingga mudah dipahami. (2). Menyusun aturan-aturan cara menerangkan isi Veda
dengan benar.
4.
Percaya dengan adanya para Dewa dan Roh yang
menyelamatkan dari kematian dan menikmati hasil ritual di sorga.
5.
Percaya adanya hukum karma phala sebagai reaksi
dari ritual yang telah dilakukan.
c. Epistimologi ajaran Mimamsa mengakui adanya enam jenis, dua dari yang pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
1.
Pratyaksa (pengamatan langsung)
2.
Anumana (kesimpulan)
3.
Upamana (perbandingan)
4.
Sabda (kesaksian)
5.
Arthapati (perkiraan tanpa bukti)
6.
Anupalabdi (tanpa persepsi).
d. Aksiologi Mimamsa
·
Kedudukan Weda di dalam Agama menjadi otoritas
paling utama
·
Melaksanakan kewajiban yang paling mendasar dengan
melakukan upacara keagamaan sesuai perintah kitab suci Veda.
·
Mencapai Moksa dengan pelaksanaan upacara keagamaan
seperti yang diajarkan oleh kitab Weda yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan
dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.
DAFTAR PUSTAKA
·
Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita.
·
Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata kuliah Darsana.
·
Tim Penyusun. 1999. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu.
Jakarta: Departemen Agama RI.
·
Sukro, Komang. 2014. Purwa Mimamsa. Hindumenulis.blogspot.co.id.
Di Akses Pada Tanggal 6 April 2016 Pukul 13:25 WIB.
·
Rifqi. 2012. Filsafat Mimamsa. Rifqimiftahulamili.blogspot.com.
Di Akses Pada Tanggal 15 April 2016 Pukul 16:24 WIB.
Sumber: Maha Yuge
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama
Hindu mengenal adanya sistem filsafat Sad Darsana, yaitu enam sistem filsafat
orthodox, yang merupakan enam cara mencari kebenaran. Keenam filsafat Darsana
itu adalah Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta, yang merupakan
pandangan spiritual terhadap Jiva, Jagat dan Siva atau Brahman. Makalah ini
akan membahas secara khusus sistem filsafat Mimamsa.
B. TUJUAN
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas secara khusus salah satu dari
enam bagian sistem filsafat Sad Darsana, yaitu sistem filsafat Mimamsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDIRI PURVA MIMAMSA DARSANA
Pendiri
dari Purva Mimamsa adalah Rsi Jaimini (400 SM) yang merupakan murid dari Maha
Rsi Vyasa. Beliau menulis kitab Mimamsa Sutra yang menjadi sumber pokok ajaran
Mimamsa. Dalam perkembangannya, muncullah kitab komentar terhadap Mimamsa Sutra
yang ditulis oleh Sabaraswamin. Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda
oleh Kumarila Batta dan pengikut Prabhakara, dimana pokok ajaran mereka pada
prinsipnya tidak berbeda. Mimamsa dibedakan menjadi dua, yaitu Purva Mimamsa
dan Uttara Mimamsa yang disebut juga dengan Vedanta.
Purva
Mimamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal
dari kitab suci Veda, suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian
Veda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja. Disebut
Purva Mimamsa karena ia lebih awal (purva) dari pada Uttara Mimamsa (Vedanta),
dalam pengertian logika , dan tidak demikian banyak dalam pengertian
kronologis. Sistem filsafat Mimamsa merupakan system filsafat India yang secara
langsung berkaitan dengan Veda. Kata ‘Mimamsa’ berarti menganalisa dan memahami
seluruhnya.
Bagi
Jaimini, kitab suci Veda secara praktis hanyalah Tuhan semata, dan Veda yang
abadi tersebut tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya. Tak ada pewahyu
Ilahi, karena Veda itu sendiri merupakan otoritasnya, yang merupakan
satu-satunya sumberpengetahuan Dharma kita. Dalam sistem Mimamsa tak diperlukan
adanya Tuhan. Sutra pertama dari Mimamsa sutra berbunyi: “Athato Dharmajijnasa”,
yang menyatakan keseluruhan tujuan dari sistemnya yaitu: satu keinginan untuk
mengetahui Dharma atau kewajiban, yang terkandung dalam pelaksanaan
upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab suci Veda. Dharma
itu sendiri memberikan ganjarannya.
B. POKOK-POKOK AJARAN MIMAMSA
Sistem
filsafat Mimamsa termasuk dalam kelompok astika yang ajarannya didasarkan
sepenuhnya pada kitab suci Veda. Mimamsa mengakui kewenangan Veda sebagai kitab
suci yang mengandung kebenaran sejati. Sebagai filsafat, Mimamsa mencoba
menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari
keyakinan keagamaan Veda terdiri dari bermacam-macam unsur, yaitu: 1). Percaya
dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan menikmati hasil dari
ritual di sorga, 2). Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang
melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan, dan 3). Percaya bahwa dunia
adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini
bukanlah suatu ilusi. Pengikut Buddha tidak mengakui adanya roh dan kenyataan
dunia.
Pokok
pembicaraan pada sistem Mimamsa ialah pengukuhan kewibawaan Veda bagian
Brahmana yang menekankan pada upacara keagamaan, maka dari itu Mimamsa juga
disebut dengan Karma Mimamsaatau Dharma Mimamsa, karena kitab Brahmana
merupakan karma kanda dari Veda. Pembicaraan mengenai upacara keagamaan sudah
ada pada jaman Brahmana dan sebagai hasilnya sudah termuat dalam kitab
Kalpasutra, Mimamsa juga membahas ilmu tentang suara dan mantra, tetapi
perhatian pokok Mimamsa adalah penggunaan meditasi dengan ritual.
Ajaran
Mimamsa adalah ajaran yang bersifat pluralistik dan realistik dalam artian jiwa
itu berjumlah banyak atau jamak, sedangkan alam semesta adalah nyata dan
berbeda dengan jiwa.
Tujuan utama sistem filsafat Mimamsa adalah
untuk mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab
suci Veda. Dukungan diberikan dalam dua cara, yaitu
(1)
dengan memberikan sebuah metodologi interpretasi agar ajaran-ajaran Veda yang
rumit mengenai ritual-ritual bisa dipahami, diharmoniskan dan diikuti tanpa
suatu kesulitan, dan
(2)
dengan menyediakan suatu justifikasi filsafat ritualisme. Dukungan ini
dikembangkan berdasarkan nalar untuk memperkuat posisi Veda sebagai kitab suci
sabda Tuhan. Selain itu, tujuan Mimamsa adalah menyusun aturan-aturan cara
menerangkan isi Veda yang sebenarnya atau untuk menegakkan dharma.
C. METAFISIKA MIMAMSA
1.
Pandangan Umum
Ajaran Mimamsa bersifat pluralistis dan
realistis, artinya sistem filsafat ini menerima adanya kejamakan jiwa dan
pengadaan asas benda yang menyelami alam semesta ini, serta mengetahui bahwa
objek-objek pengamatan ini adalah maya. Mimamsa menolak pandangan Budha
dan advaita yang menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya adanya
jiwa, sorga, neraka dan para dewa yang semuanya ini dapat dicapai melalui
upacara yang tepat menurut kitab suci Veda. Jiwa dan unsur-unsur materi
pembentukan dunia ini menurut Mimamsa bersifat permanen atau kekal. Semua benda
yang ada di dunia ini ditentukan oleh hukum karma.
Ada
tiga komposisi di dunia ini, yaitu:
Ø Kehidupan
jasmani sebagai tempat jiwa untuk menikmati akibat perbuatannya dari masa-masa
kehidupan yang silam (bhogayatana).
Ø Indriya
yang dipergunakan sebagai alat oleh jiwa untuk menikmati adanya rasa suka dan
duhka dalam hidup ini (bhoga sadana).
Ø Objek-objek
yang merupakan buah dari suka dan duka (bhogya sadana).
Mimamsa tidak mengakui adanya Tuhan,
sedangkan mengenai teori tentang atom sama dengan yang dikemukakan oleh
Vaisesika, akan tetapi berbeda mengenai atom-atom tersebut. Menurut Mimamsa
atom-atom tidak membutuhkan pengaturan dari Tuhan, melainkan diatur oleh hukum
karma. Tidak ada penciptaan dan penghancuran dunia ini, karena keberadaan dunia
ini adalah kekal.
Metafisika Mimamsa bersifat prularistis dan
realistis, artinys peecaya adanya jumlah jiwa yang tak terhitungdan dunia yang
nyata, tetapi keduanya berbeda. Mimamsa percaya dengan hanya realitas seperti
kenyataan adanya energi, moral, sorga, neraka dan sebagainya yang tidak dapat
diketahui melalui pengalaman indriya.
2.
Teori dari Kekuatan Sakti dan Apurva
Menurut
Mimamsa bahwa setiap benda di dunia ini memiliki suatu kekuatan tertentu yang
ada di dalamnya. Kekuatan itu disebut sakti, yang tidak dapat dilihat dengan
mata. Contohnya: sebuah benih (kacang hijau) yang memiliki suatu kekuatan di
dalamnya sehingga benih tersebut dapat tumbuh kecambah. Kecambah tersebut tidak
dapat tumbuh apabila ada yang mengganggu biji tersebut sehingga rusak. Ini
berarti ada hubungan erat antara benda (biji kacang hijau) dengan kekuatan atau
sakti. Selain pada benih, kekuatan yang tidak tampak itu juga dapat kita
lihat pada api dangan kekuatan sinar membakarnya, dan kekuatan yang ada pada
air.
Dharma
secara umum menurut Mimamsa adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber
dari Veda atau kebajikan-kebajikan yang bersifat keagamaan yang mengandung
tuntunan-tuntunan kesusilaan yang mutlak. Dharma tidak akan mendatangkan
pahalanya secara langsung melainkan dengan perantaraan, artinya walaupun
seseorang telah melakukan upacara keagamaan dengan benar dan berdasarkan
kemurnian kesusilaan, ia tidak akan secara langsung memetik buah dari
perbuatannya itu. Sebab semua tindakan mengenai upacara hanya bersifat
sementara, tidak abadi. Oleh karena itu upacara tidak mungkin mempunyai
hubungan langsung dengan hasilnya. Pelaksanaan upacara adalah suatu kelompok
tindakan yang akan berakhir bila tindakan telah selesai dilakukan, sehingga
pahala itu tidak akan diperoleh setelah upacara itu dikerjakan, melainkan harus
menunggu beberapa waktu. Terlebih untuk mencapai sorga, sebab sorga akan
diperoleh bila orang itru telah meninggal dunia.
Timbul
pertanyaan apa yang dapat mengantarkan pahala tersebut sehingga tepat sasaran?
Mimamsa mengemukakan suatu ajaran yang disebut Apurva. Kata Apurva berarti
tenaga yang tidak tampak. Suatu acara yang telah dilakukan seseorang akan
melahirkan tenaga atau daya yang tidak tampak di dalam jiva orang yang
melakukan ritual tersebut. Tenaga atau daya ini akan terus bertahan, sehingga
pahala yang sesuai dengan perbuatan itu menjadi masak. Dengan demikian dapat
dikatakan Apurva adalah suatu jembatan yang menghubungkan ritual dengan
buahnya. Pahala tersebut dapat dinikmati dalam hidup di dunia ini dan juga di
alam akhirat.
Dharma
menurut ajaran Veda ada dua jenis, yaitu: tindakan yang diwajibkan dan tindakan
yang tidak diwajibkan. Tindakan yang diwajibkan meliputi ritual yang berlaku
setiap hari dan berkala. Sedangkan tindakan yang tidak diwajibkan adalah ritual
yang dilakukan secara fakultatif.
3. Pandangan
Mimamsa tentang Jiva
Dalam
ajaran Mimamsa dinyatakan ada 4 katagori, yaitu: substansi, kualitas, aktivitas
dan sifat umum. Ada 9 substansi, yaitu: tanah, air, api, udara, akasa, akal,
waktu, ruang dan jiwa. Kumarila Bhatta menambahkan 2 substansi lagi yaitu:
tamas atau kegelapan dan sabda atau suara. Substansi dalam ajaran Mimamsa dapat
diamati, umpamanya debu yang tampak dalam sinar matahari.
Substansi,
kualitas, sifat umum dan sifat khusus tidak boleh dibeda-bedakan secara mutlak,
karena jika kategori ini dapat dibedakan secara mutlak tentulah yang satu dapat
dipisahkan dari yang lain. Umpama kita hendak memisahkan mawar dengan merahnya
tentulah merupakan suatu pekerjaan yang mustahil.
Sesungguhnya
katagori-katagori tidak dapat dipisah-pisahkan. Dapat dikatakan bahwa semuanya
mewujudkan kesamaan di dalam perbedaan atau benda-benda. Adanya kesamaan
kualitas dengan substansi, maka kita dapat menyebutkan kualitas dari substansi
itu, misal: unga mawar adalah merah. Bila direnungkan tentulah substansi tidak
sama secara mutlak, umpama bunga mawar tidak sama dengan merah, akan tetapi
tidak benar juga bahwa substansi berbeda mutlak dengan kualitas, umpama mawar
tidak dapat dibedakan secara mutlak dengan merahnya. Keduanya secara
bersama-sama mewujudkan suatu satu-kesatuan, yaitu di mana ada mawar disana ada
merah.
Menurut
Mimamsa jiva berbeda dengan tubuh, indriya dan budhi. Jiva jumlahnya sangat
banyak dan tak terhitung, tiap tubuh ada satu jiva. Semua jiva memiliki
kesadaran bersifat kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
Disamping menjadi subjek pengetahuan, jiva juga menjadi objek pengetahuan,
artinya kesadaran akan adanya objek mengandung di dalamnya kesadaran akan
adanya pribadi. Pribadi itu segera dinyatakan oleh objek yang dikenal,
umpamanya di dalam ucapan ‘Aku melihat sebuah meja’. Ucapan ini bermaksud
menyatakan adanya ‘meja’ dan sekaligus menyatakan adanya ‘Aku’. Demikianlah
pribadi sekaligus menjadi subjek dan objek pengetahuan, hal ini disebabkan
karena dalam pribadi ada dua unsur yaitu: unsur substansi dan unsur kesadaran.
Yang
dimaksud unsur substansi adalah pribadi yang menjadi objek pengetahuan,
sedangkan unsure kesadaran ialah pribadi yang menjadi subjek pengetahuan.
Menurut Mimamsa yang mengemudikan tubuh adalah jiva. Pada mulanya tujuan hidup
manusia menurut Mimamsa adalah mencapai sorga, akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya Mimamsa menyatakan bahwa tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah
kelepasan.
Veda
menurut Mimamsa tanpa memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan. Mimamsa
tidak memberikan tempat kepada Tuhan didalam sistemnya. Dunia bukan diciptakan
oleh Tuhan, sebab dunia tidak berawal dan berakhir. Tidak ada penciptaan dan
peleburan, alasannya adalah seandainya dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa dan Maha Pengasih, maka tidak mungkin di dunia ini ada penderitaan. Namun
Mimamsa bukan bersifat atheis, karena Mimamsa percaya dengan adanya Veda yang
bersifat kekal yang di dalamnya terdapat deva-deva sebagai manifestasi Tuhan.
D. EPISTEMOLOGI MIMAMSA
Dalam
usaha membuktikan kewenangan Veda, Mimamsa membahas secara berhati-hati tentang
alam dari ilmu pengetahuan, dunia, dan kriteria dari kebenaran dan kesalahan,
dan sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya. Tujuan Mimamsa tentang
sumber, alam dan keterbatasan dari ilmu pengetahuan terkait dengan beberapa hal
atau masalah yang sangat menarik akan dibahas di bawah ini!
1.
Alam dan Sumber dari Ilmu Pengetahuan
Sistem
Mimamsa seperti sistem filsafat India lainnya menerima dua jenis pengetahuan,
yaitu: immediate dan mediate. Immediate ialah pengetahuan yang terjadi
tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan, sedangkan mediate ialah pengetahuan
yang diperoleh melalui perantara atau media. Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang lain dan tidak dipengaruhi oleh keadaan yang salah.
Objek
pengetahuan immediate haruslah sesuatu yang ada atau zat, bila objek
pengetahuan itu dikaitkan dengan indriya-indriya kita, maka dalam jiva kita
akan muncul pengetahuan kita, maka dalam jiva kita muncul pengetahuan immediate
tentang hal tersebut. Bila objek ini dikaitkan dengan indriya, mula-mula muncul
kesadaran tentang objek itu. Yang kita ketahui bahwa objek itu sendiri adalah
benda, seperti apa adanya, tetapi belum dapat dimengerti.
Pengetahuan
yang berdasarkan apa yang tidak dapat ditentukan terlebih dahulu serta
datangnya secara tiba-tiba disebut Nirvikalpa pratyaksa atau alocana-jnana.
Bila pada tingkatan berikutnya kita menginterpretasikan arti dari objek itu
berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, sampai kita
mengerti benar mengenai benda itu, itulah persepsi yang sudah kita tentukan
yang dinyatakan dengan pertimbangan-pertimbangan, pengetahuan semacam ini
disebut Savikalpa pratyaksa.
Pengetahuan
yang didapat dari indriya adalah pengetahuan yang sebenarnya tentang dunia yang
dibentuk oleh bermacam-macam benda. Walaupun tahap pertama tidak dikenal secara
tegas, yang kemudian pada tahap kedua dikenal secara lengkap walaupun masih
dalam tahap awal. Dalam tahap kedua, pikiran hanya memperkirakan dengan
mempergunakan bantuan pengalaman sebelumnya, apa yang muncul, tapi bukan
berasal dari khayalan. Selanjutnya hendaklah diakui bahwa semua bentuk
penglihatan berisi interpretasi pikiran di dalamnyadan tidak diperlukan suatu
khayal atau ilusi terhadap apa yang dilihat. Demikian pula dengan objek dunia
yang bervariasi ini memiliki sifat yang berbeda-beda yang telah memberikan
gerak pertama kepada pikiran bila kita menyadarinya.
2.
Sumber Pengetahuan yang Tidak berasal Dari Pengenalan Indriya
Kumarila
Bhatta mengajarkan hanya enam alat pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan
(pramana), sedangkan Prabhakara hanya mengakui lima. Enam alat pengetahuan itu
adalah: pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana (perbandingan),
sabda (kesaksian), arthapatti (perkiraan tanpa bukti), dan anupalabdhi (tanpa
persepsi). Anupalabdhi hanya diakui oleh Kumarila Bhatta. Pengamatan dan
penyimpulan dalam Mimamsa sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
a. Upamana
(perbandingan)
Pandangan
Mimamsa mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui
perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Mimamsa selain
menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima pula
perbandingan sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Mimamsa,
pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat
adalah persis seperti yang diterima. Pengetahuan seperti ini tidak dapat
diklasifikasikan dalam persepsi, karena objek yang dikenal sama. Sabaraswanin mendefinisikan
upamana sebagai pengetahuan tentang suatu objek yang tidak diterima sama dengan
objek lain yang dikenalnya.
b. Sabda
(kesaksian)
Bagi
Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian atau sabda, yaitu
sabda kitab suci Veda. Veda dipandang bukan sebagai hasil karya manusia dan
juga hasil karya Tuhan, karena Veda tidak disusun oleh manusia dan juga oleh
Tuhan. Veda adalah kekal.
Aliran
Mimamsa memberikan perhatian yang besar kepada sabda sebagai sumber
pengetahuan, karena sabda harus membuktikan kekuasaan dari Veda, yaitu:
1) Yang
bersifat pribadi, dan
2) Yang
tidak bersifat pribadi
Yang
pertama terdapat dalam bentuk tertulis atau lisan dari seseorang, sedangkan
yang kedua menyatakan kekuatan dari pada pada itu sendiri. Kekuatan atau kekuasaan
memberikan informasi tentang adanya suatu objek (siddharta-wakya) atau
memberikan arah untuk penampilan suatu perbuatan (widhayaka-wakya). Mimamsa
tertarik pada kekuatan Veda yang tidak bersifat pribadi, karena Veda memberikan
arah untuk melakukan upacara keagamaan. Veda dipandang sebagai kitab yang
mengandung perintah untuk melakukan kewajiban dan bersifat kekal.
Kata-kata
yang ada di dalam Veda bukan disusun oleh manusia, dan Tuhan, karena susunan
kata-kata itu bersifat khas dan tetap. Inilah yang membedakan Veda dengan hasil
tulisan manusia. Veda menyatakan dirinya sendiri dan memiliki kebenaran di
dalam dirinya sendiri, oleh karena itu apa yang dikatakan Veda adalah benar.
Veda juga tidak bertentangan dengan alat-alat pengetahuan yang lain. Alat-alat
pengetahuan yang lain berhubungan dengan dunia yang dapat diamati, sedangkan
Veda berhubungan dengan dunia yang tidak dapat diamati.
c. Arthapatti
(perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti
adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang
sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berlawanan satu dengan yang
lainnya. Bila kita memberikan suatu penjelasan tentang suatu benda yang belum
pernah dilihat wujudnya kepada seseorang, hendaklah kita menjelaskan benda yang
dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenal, sehingga orang itu mudah
dapat mengartikannya. Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah
merupakan suatu kesimpulan dan bukan pula merupakan suatu bentuk perbandingan.
d. Anupalabdhi
(tanpa persepsi)
Anupalabdhi
adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan
terhadap suatu objek dikarenakan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada orang
yang bertanya ‘bagaimana saya tahu tentang ketidakadaan itu, maka jawabannya
adalah cobalah lihat dan katakana apakah ada meja di kamar itu’. Orang itupun
tidak dapat mengatakan tentang hal itu karena benda itu memang tidak ada. Oleh
Mimamsa dikatakan bahwa ketidakadaan meja di kamar itu diketahui karena tidak
adanya pengamatan terhadap benda itu, sehingga ia tidak dapat memahami mengenai
benda tersebut.
E. ETIKA MIMAMSA
1.
Kedudukan Veda di Dalam Agama
Mimamsa
tidak percaya dengan adanya penciptaan atas dunia ini. Mimamsa tidak percaya
dengan adanya Tuhan yang kekuasaannya berada diatas atau minimal setara denagan
Veda. Menurut Mimamsa Veda itu sendiri mendasari kebenaran yang abadi atau
hukum-hukum tentang adanya perintah Veda. Veda itu sendiri menyiapkan ciptaan
dari apa yang baik dan apa yang salah. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang
mengabdi pada kesetiaan terhadap perintah-perintah Veda.
2.
Kewajiban yang Mendasar
Ritual
atau upacara yadnya harus dilaksanakan karena berkaitan dengan Veda, bukan
dengan tujuan-tujuan yang lain. Pengorbanan yang dilakukan jaman Veda
dikalkulasi untuk menyanangkan Dewi Matahari, Dewa Hujan dan dewa-dewa yang
lain, atau untuk memenangkan perang dan mengusir penyakit. Mimamsa merupakan
kelanjutan dari pada sistem keagamaan yang bersumber dari Veda, maka dari itu
upacara keagamaan secara detail lebih mendapat tempat daripada dewa-dewa itu
sendiri, yang secara perlahan-lahan menjauh dan menghilang ke dalam atau
menjadi objek dari struktur. Dewa itu penting hanya sebagai sesuatu, yang
namanya harus diberikan, dimana dilakukan upacara. Tetapi tujuan dasar daripada
melakukan upacara yadnya itu adalah bukan persembahan untuk menyenangkan dewa
apapun.
Ritual
juga bukan untuk menyucikan jiwa atau memperbaiki moral. Upacara keagamaan
dilaksanakan hanya karena Veda memerintahkan demikian atau untuk kewajiban.
Beberapa dari upacara ini diperuntukkan menikmati sorga atau memperoleh
keuntungan-keuntungan duniawi, seperti air hujan. Mimamsa mencapai puncaknya
yang tertinggi yaitu antara lain melaksanakan kewajiban demi untuk kewajiban
itu sendiri.
Mimamsa
percaya bahwa perbuatan yang wajib untuk dilakukan bukan untuk memberikan
keuntungan kepada pelakunya tetapi karena kita harus melakukan. Mimamsa percaya
suatu kewajiban tidak harus dilakukan dengan tujuan yang menarik, tetapi
alamlah yang menganjurkan agar seseorang melakukan tugasnya. Seorang filsuf
barat yang bernama Kant menganggap benar adanya Tuhan, dan menurut Kant
pemujaan kepada Tuhan adalah kewajiban yang tertinggi, sedangkan menurut
Mimamsa kewajiban adalah kekuasaan Veda secara pribadi yang berkaitan dengan tugas.
3.
Kebaikan yang Tertinggi
Pada
awalnya kebaikan menurut Mimamsa adalah pencapaian sorga atau suatu keadaan
dimana ditemukannya kebahagiaan sejati. Sorga dianggap sebagai akhir dari suatu
upacara keagamaan, akan tetapi pada akhirnya Mimamsa menerima kelepasan sebagai
tujuan tertinggi setelah penulis-penulis Mimamsa mendapat pengaruh dari
pemikir-pemikir dari sistem filsafat India lainnya.
Mereka
menyadari bahwa perbuatan baik atau buruk itu ditentukan oleh keinginan, yang
akibatnya akan menimbulkan kelahiran yang berulang-ulang. Apabila seseorang
memahami bahwa kehidupan duniawi hanya permainan pikiran dan indriya yang
menjadikan manusia menderita, maka seseorang akan mengontrol pikiran dan
indriyanya supaya tidak melakukan perbuatan yang terlarang, sehingga kesempatan
untuk lahir kembali menjadi lenyap.
Dengan
melakukan kewajiban yang diperintahkan oleh Veda seseorang akan terbebas dari
kelahiran. Menurut sistem Mimamsa jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah
pelaksanaan upacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Veda, yaitu
tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang
terlarang.
Kebebasan
adalah keadan yang tidak disadari, bebas dari kesenangan dan rasa sakit.
Menurut Mimamsa keadaan mental dan kesadaran tidak ada pada jiva, muncul
kesadaran dan keadaan mental itu, bila jiva dikaitkan dengan objek melalui
tubuh dan bagian-bagian tubuh yang lain. Kebebasan berarti lenyapnya hubungan
jiva dengan tubuh dan kembali kepada keadaan yang semula, yang bersifat kekal,
berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Purva Mimamsa adalah salah satu bagian dari filsafat Sad Darsana, yang dipopulerkan oleh Rsi Jaimini. Purva Mimamsa berisi penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda, suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja. Mimamsa bersifat pluralistis dan realistis, serta percaya adanya jiwa, sorga, neraka dan para dewa. Mimamsa termasuk dalam kelompok astika yang ajarannya didasarkan sepenuhnya pada kitab suci Veda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar