DARSANA
ADVAITA VEDANTA
Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman
Sudiani, SE, S.Pd.H, M.Fil.H
Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita
1509.10.0039
(Penerangan Agama Hindu)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
HINDU
DHARMA NUSANTARA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vedanta
Darsana adalah yang terakhir dari enam sistem filsafat India (Sad
Darsana) yang mengakui otoritas Veda (Astika), dan mendapat tempat terpenting
di antara mereka. Pustaka atau literature Vedanta adalah Upanisad, Brahmasutra
dan Bhagavadgita, ketiganya disebut Prastanatraya (tiga jalan besar). Dari
ketiganya, Brahmasutra dari Badarayana menempati posisi kunci. Sutra-sutra itu
biasanya diekspresikan dalam kalimat singkat dan sering ambigu (memiliki arti
lebih dari satu) dan secara alamiah menimbulkan tafsir berbeda yang menjadi
sebab lahirnya tiga cabang Vedanta yang terkenal, yaitu; Advaita, Dvaita dan
Visitadvaita, (Putra, 2014;
91-92).
Vedanta
terdiri dari kata Sansekerta “Veda” dan “Anta”. Veda berarti ajaran-ajaran suci
yang berarti juga kitab sucinya Agama Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Anta berarti akhir, jadi Vedanta berarti bagian akhir dari kitab suci Veda yang
menguraikan filsafat inti dari kerohanian Hindu untuk mencapai kesempurnaan
hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta
kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani, 2012; 67).
Vedanta
sendiri merupakan bagian dari Mimamsa. Kata Mimamsa memiliki makna “Penyelidikan”. Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa
dan Utara Mimamsa. Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama.
Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Veda yang pertama yaitu kitab
Brahmana dan Kalpasutra. Sedangkan Utara Mimamsa atau Vedanta
yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian
Veda yang kedua, yaitu kitab Upanisad. Purva Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa, (Ngurah, 1999; 125).
Advaita
merupakan salah satu aliran filsafat Vedanta yang juga membahas tentang hakekat
Brahman, Atman, Maya dan Moksa. Namun, setiap aliran filsafat memiliki
pokok-pokok ajaran dengan penekanan yang berbeda-beda. Dari penjelasan di atas,
maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan sebagai berikut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah
pandangan Advaita Vedanta terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya dan Moksa?
1.2.2 Bagaimanakah pokok-pokok ajaran dalam
Advaita Vedanta?
1.3 Tujuan
1.3.1 Pembaca
dapat mengetahui dan memahami pandangan Advaita Vedanta terhadap keberadaan
Brahman, Atman, Maya, dan Moksa.
1.3.2 Pembaca
dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran dalam Advaita Vedanta.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Advaita Vedanta
Advaita
berasal dari dua kata yakni “A” yang artinya tidak, dan “Dwaita” yang artinya
dualisme, jadi Advaita berarti tiada dualisme. Advaita Vedanta adalah
bagianakhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat monoisme untuk
mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan
karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani, 2012; 67).
Sastra/
kitab yang menjadi pedoman mendasar bagi penganut ajaran Vedanta disebut
Prasthanatrayi yaitu terdiri atas Upanishad, Bhagavad Gita dan Brahma Sutra.
Sedangkan orang yang pertama secara eksplisit menyatukan prinsip-prinsip
Advaita Vedanta adalah Adi Shankara.
Sri
Sankara, yang di anggap sebagai Avatara dari Siva, merupakan seseorang yang
jenius yang hebat dan mengagumkan, serta menguasai logika. Ia adalah seorang
yang bijak tentang realisasi tertinggi, dimana filsafatnya telah member
hiburan, kedamaian dan pencerahan pada orang-orang yang tak terhitung
jumlahnya, baik dari timur maupun dari barat. Para
pemikir barat menundukkan kepalanya pada kaki padma Sri Sankara. Filsafatnya
telah menyejukkan kesedihan dan kesusahan dari orang-orang yang sangat sedih
dan memberinya harapan, kegembiraan, kebijaksanaan, kesempurnaan, kemerdekaan
dan ketenangan pada banyak orang dan sistem filsafatnya membuat kagum seluruh
dunia.
Beliau
memiliki 4 orang murid, yaitu: Padma-pada, Hastamalaka, Suresvara atau Mandana
dan Trotaka dan seorang muridnya yang lain, yang bernama Ananda-Giri menulis
sejarah kegigihannya membantah, yang di sebut Sankara-Vijaya, yang secara
tradisi membuatnya sebagai pendiri sekte Saiva yang utama, yaitu
Dasa-Nami-Dandins atau Sepuluh orang peminta-minta. Disamping ulasan-ulasan
beliau terhadap kitab-kitab upanisad, Brahma Sutra, Vedanta Sutra, Bhagavad
Gita dan Mahabarata, beliau juga menulis beberapa buah buku antara lain:
Atma-Bodha, Ananda-Lahari, Jnana Bodhini, Mani-ratna-mala.
2.2 Sejarah Advaita Vedanta
Tokoh
pendiri Advaita Vedanta ini adalah Sankara yang diperkirakan hidup pada tahun
788-820 Masehi. Akan tetapi di dalam kitab-kitab Upanisad telah banyak
disebutkan adanya guru-guru kerohanian yang telah mengajarkan tentang monoisme,
yaitu; Yajnavalkya dan Uddalaka. Tokoh-tokoh monoisme yang muncul kemudian
sesungguhnya mengembangkan ajaran yang telah ada dalam kitab Upanisad itu. Hal
ini dapat dipahami oleh karena ajaran Advaita pada hakekatnya bersumber dari
Vedanta-sutra atau kitab-kitab Upanisad, (Sumawa
& Krisnu, 1996; 205).
Orang
pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada,
yang merupakan Parama Guru Sri Sankara. Gaudapada dalam Mandukya Karika-nya
yang terkenal telah menguraikan ajaran inti dari ajaran Advaita Vedanta,(Sudiani,
2012; 72).
2.3 Pandangan Advaita Vedanta
2.3.1 Brahman
Advaita
Vedanta menyatakan dalam ajarannya hanya Brahman yang ada, yang tunggal,
sedangkan jiwa perorangan adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri dengan
sarana tambahan (Upadhi), (Sudiani,
2012; 73).Karena Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa
pribadipun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada
dimana-mana, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan
tidak menikmati, (Sudiani,
2012; 82).
Menurut
Sankara, Brahman mempunyai dua wujud yaitu Para Brahman dan Apara Brahman. Para
Brahman adalah perwujudan Tuhan yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa
perbedaan, dan tanpa pembatasan (Niruphadi). Dalam wujud seperti ini Tuhan
disebut Nirguna Brahman. Nirguna juga disamakan dengan Sunya Niskala, Parama
Siva yaitu istilah yang digunakan untuk memahami hakekat Tuhan dalam keadaan-Nya
semula. Dalam istilah filsafat dikatakan sebagai alam transcendental, yang
artinya ada diluar jangkauan pikiran manusia, (Sudiani,
2012; 75).
Apara
Brahman adalah perwujudan Brahman yang relative dalam artian Brahman memiliki
sifat-sifat dan pembatasan. Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai
pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta. Maka itu Tuhan dipandang sebagai
Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa. Dalam keadaan seperti ini Tuhan dipandang
sebagai Saguna Brahman atau Isvara yang dipuja oleh manusia, (Sudiani, 2012; 75).
2.3.2 Atman
Hubungan
Brahman dengan jiwa perorangan tidak dapat disamakan dengan hubungan antara
Brahman dengan dunia. Jiwa perorangan tidak dapat dipandang sebagai penampakan
khayalan belaka dari Brahman, sebab jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak
dapat dibagi-bagi. Cuma saja Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana
tambahan (upadhi) yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu
sendiri, (Sudiani, 2012; 82).
Hubungan
antara Brahman dengan Jiwa digambarkan sebagai “Kerang Perak” yang dilihat
dengan menggunakan “Kaca Kuning”. Kerang yang pada dasarnya berwarna perak itu,
tampak kuning bila dilihat dengan sarana tambahan berupa “Kaca Kuning”. “Kerang
berwarna kuning” bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang berwarna perak”.
Yang tampak sama-sama kerangnya, Cuma saja warnanya yang berbeda pada
penampakan adalah “Kerang berwarna kuning” sedangkan pada kenyataannya “Kerang
berwarna perak”. “Kerang Kuning” atau Jiwa perorangan bukanlah penampakan
khayalan dari “Kerang Perak” atau Brahman seperti halnya penampakan alam
semesta. Ada
unsur-unsur yang identik antara Jiwa dengan Brahman, hanya saja Brahman
memiliki keadaan yang membatasi unsur-unsur yang identic itu. Keadaan yang
membatasi itu adalah alat batin atau Antah Karana (Upadhi), (Sudiani, 2012; 82).
Disamping
Antah Karana, ada lagi sarana tambahan yang lain yaitu berupa hasil perbuatan
sepanjang hidup manusia yang disebut dengan Karma Wasana. Karma Wasana ini ada
pada tubuh halus yang kemudian menentukan kehidupan manusia selanjutnya. Dengan
adanya sarana tambahan yang berlapis-lapis itu menyebabkan pengertian “Aku”
menjadi manusia yang sangat unik dan ruwet sekali, karena terdiri dari campuran
Atman dan bukan Atman. Karena adanya Avidya keduanya disamakan yang akibatnya
menimbulkan penderitaan, (Sudiani,
2012; 82).
2.3.3 Maya
Alam
semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh
karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan
alam semesta, Sankara menerima teori Samkya yakni pertemuan Purusa dan Prakerti
kemudian dipengaruhi oleh Triguna sehingga lahirlah secara berturut-turut;
Budhi, Ahamkara (ego), Manas, Dasendria, Panca Tanmantra dan Panca Mahabhuta.
Gabungan dari Panca Mahabhuta inilah muncul alam semesta beserta isinya, (Sudiani, 2012; 73).
2.3.4 Moksa
Tujuan
hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan
bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati
itu maka ia mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman. Atman menurut
Advaita adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri disertai dengan sarana
tambahan atau upadhi yang membatasi wujudnya yang sejati. Adapun sarana
tambahan itu adalah budhi, ahamkara (ego), manas, dan pembantu-pembantunya
yaitu Jnanendria dan Karmendria, (Sudiani,
2012; 81).
2.4 Pokok-pokok Ajaran Advaita Vedanta
2.4.1 Mengikuti Petunjuk Guru
Hendaklah
seseorang dalam proses belajar itu mengikuti tiga petunjuk guru yaitu:
Mendengarkan
perintah guru sebaik-baiknya, mengartikan perintah-perintah itu melalui
pertimbangan-pertimbangan yang dalam sehingga bentuk keragu-raguan lenyap, dan
melakukan meditasi berulang-ulang dan kebenaran yang diajarkan oleh sang guru, (Sudiani, 2012; 84).
2.4.2 Hanya Keberadaan Brahman Yang Mutlak
Hanya
Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang demikian
keberadaan. Di luar Brahman keadaannya adalah a-sat, artinya bukan keberadaan yang ada
secara kekal. Namun di dalam pengalaman hidup sehari-hari dunia kelihatannya
benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan diamati, (Sumawa & Krisnu, 1996; 209). Ajaran Advaita dari Sankara
menegaskan sifat transenden dari Brahman yang tiada dua-Nya dan
jugadualisme daripada alam
semesta termasuk Isvara yang memerintahnya. Yang nyata adalah Brahman atau
Atman. Predikat apapun tidak bisa diberikan kepada Brahman karena setiap
predikat mencerminkan kegandaan, (Atmaja,
1989; 11).
2.4.3 Pencapaian Kelepasan
Tujuan
hidup manusia adalah untuk mengetahui dan merealisasikan kebenaran, untuk
mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang
mencapai tujuab itu ia akan berubah pikirannya, baik mengenai dirinya maupun
yang mengenai dunia. Perubahan ini menghasilkan kelepasan yaitu kembali
keasal-Nya, Brahman. Sarana untuk mencapai itu menurut Advaita ialah melalui:
Wairagya,
yaitu melaksanakan disiplin yang praktis dan tidak terikat pada sesuatu yang
ada disekitarnya. Berusaha mendapatkan pengetahuan yang tertinggi (Jnana) dan
mengubah pengetahuan ini menjadi pengalaman langsung yaitu dengan belajar
kepada guru mengenai Advaita, sehingga mengetahui benar-benar bahwa Atman
adalah Brahman seutuhnya· Berusaha memancarkan pengetahuan ini dalam hidup
sehari hari,(Sudiani, 2012; 84).
BAB
III
METODOLOGI
3.1 Epistimologi Advaita Vedanta
Dalam
Advaita Vedanta menyatakan bahwa ada enam jenis pramana, yaitu: pratyaksa
(pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana (perbandingan), sabda (kesaksian),
arthapati (perkiraan), dan anupalabdhi (tanpa pengamatan). Pandangan Sankara
dan Kumarila Bhatta berbeda tentang kemunculan Veda. Kumirila Bhatta mengatakan
bahwa Veda tanpa penyusun, maksudnya Veda tidak diciptakan oleh manusia maupun
oleh Tuhan. Sedangkan Sankara menyatakan bahwa Veda diciptakan oleh Tuhan, dan
keberadaan Veda adalah kekal.
3.1.1 Pratyaksa (Pengamatan Langsung)
Pratyaksa merupakan sumber
pengetahuan yang paling tinggi. Proses untuk mengetahui keberan dari suatu
pengetahuan dengan menggunakan indria, dalam hal ini indria berhubungan
langsung dengan objek yang diamati. Tetapi, ada juga pengamatan yang bersifat
transendental yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yakni sebagai
berikut:
1.
Nirvikalpa
Merupakan suatu pengamatan terhadap
objek tanpa penilaian, misalnya: ketika seseorang melihat sapi dia hanya
mengetahui keberadaan sapi itu tanpa mengetui lebih luas tentang seberapa besar
tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk
pemeliharaannya.
2.
Savikalpa
Savikalpa merupakan suatu pengamatan
terhadap objek dengan suatu penilaian. miaslnya: ketika seseorang melihat sapi,
dia pasti juga akan mengamati tentang tubuhnya, makanannya apa, dimana
hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.
3.1.2 Anumana (Penyimpulan)
Anuamana berarti cara untuk
mendapatkan kebenaran suatu pengetahuan dengan cara menyimpulkan. Penyimpulan
adalah suatu proses penalaran dimana akan melewati suatu tahapan-tahapan
berpikir tertentu yang diperlukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Ada 5 tahapan dalam proses
penyimpulan antara lain:
- Pratijna:
memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamataan misalnya
gunung itu berapi.
- Hetu:
alasan penyimpulan dimanadalam hal ini terlihat ada asap yang keluar dari
gunung tersebut
- Udaharana:
menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang ada dalam hal
ini adalah bahwa segala yang berasap itu tentu ada apinya.
- Upanaya:
Pemakaian aturan umum itu pada kenyataannya yang terlihat, yaitu
bahwa jelas gunung itu berapi.
- Nigamana:
berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya,
dengan pernyataan bahwa gunung itu berapi, (Maswinara, 1999;130).
3.1.3 Upamana (Perbandingan)
Pandangan Advaita Vedanta mengenai
perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah
sumber pengetahuan yang unik, tetapi Advaita selain menerima perbandingan
sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima perbandingan pula sebagai
perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Advaita pengetahuan muncul dari
perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang
diterima. Contoh: pada saat melihat cerurut (tikus kecil) orang menerimanya
sebagai tikus yang diketahui terlebih dulu, kemudian dia memperoleh pengetahuan
bahwa tikus yang dia ingat sama persis seperti tikus yang ia lihat, (Sudiani, 2012; 78).
3.1.4 Sabda (kesaksian)
Bagi para Advaita Vedanta alat
pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian atau sabda, yaitu sabda suci Veda
yang mengandung kebenaran mutlak. Veda menurut Sankara diciptakan oleh Tuhan
dan bersifat kekal. Pada waktu dunia Pralaya, Veda ikut lenyap, tetapi kapan
dunia ini diciptakan maka Veda akan muncul kembali untuk membimbing umat
manusia kea rah kesempurnaan. Advaita juga mengakui bahwa pengetahuan yang
didapat melalui sabda pramana dipandang benar bila berasal dari orang yang
dapat dipercaya. Misalnya pertanyaan-pertanyaan para Maha Rsi tentang kebenaran
adanya Tuhan dan kesucian-kesucian ajaran-Nya. Ajaran Tuhan yang ada pada kitab
suci Veda menurut Advaita hendaknya dijadikan pedoman dalam hidup ini demi
kesempurnaan umat manusia, (Sudiani,
2012; 78).
3.1.5 Arthapatti (persangkaan atau perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti adalah suatu bentuk
perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui
beberapa penjelasan yang berawalan satu dengan yang lainnya. Bila memberikan
penjelasan kepada orang lain tentang sesuatu benda yang belum pernah dilihat
sebelunnya, kita harus menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain
yang sudah dikenal, sehingga orang itu akan mudah mengerti. Pengetahuan yang
diperoleh dari peristiwa ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan pula
merupakan suatu bentuk perbandingan. Contoh: kita melihat seorang laki-laki
berbadan gemuk sedangkan ia tidak pernah dilihat makan pada siang hari, disini
kita mendapat suatu kenyataan yang bertentangan antara badannya yang gemuk
dengan puasa yang dilakukannya. Kita tidak dapat menemukan jalan damai untuk
kedua fakta ini yaitu kegemukan dan tidak makan atau puasa, kecuali kita
menerima perkiraan tentulah orang laki-laki itu makan pada waktu malam hari, (Sudiani, 2012; 79).
3.1.6 Anupalabdi (tanpa pengamatan)
Anupalabdi adalah cara untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek
dikarenkan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada pertanyaan dari seseorang,
bagaimana saya tahu tentang ketidakadaan itu? Maka jawabannya: lihatlah dan
katakan apakah ada pot bunga di atas meja ini? Saya tidak dapat mengatakan hal
tersebut, karena benda itu memang tidak ada. Terhadap hal ini oleh Advaita
dikatakan bahwa ketidakadaan pot di atas meja itu diketahui karena tidak adanya
pot di atas meja, maka dari itu tidak dapat dipahami, (Sudiani, 2012; 80).
3.2 Aksiologi Advaita Vedanta
a.
Mampu membedakan hal-hal yang bersifat kekal dan tidak
kekal
b.
Bisa mengatasi keinginan yang berlebihan akan
kenikmatan terhadap objek-objek keduniaan pada waktu sekarang dan selanjutnya
c.
Memiliki pemikiran-pemikiran yang luhur seperti;
kesabaran, cinta kasih, dan kekuatan berkonsentrasi
d.
Mengarahkan kemauan dan keinginan untuk menuju kepada
kelepasan.
e.
Meyakini bahwa Atman itu adalah Brahman seutuhnya yang
tidak dapat dibagi-bagi.
f.
Meyakini bahwa hanya Brahman yang nyata, selain Brahman
seluruh alam semesta beserta isinya adalah ilusi belaka.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Advaita
Vedanta adalah bagian akhir dari
kitab suci Veda yang menguraikan filsafat monoisme untuk mencapai kesempurnaan
hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta
kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa.
Inti
sari filsafat Advaita Vedanta dari Sri Sankara terkandung dalam separoh sloka: “BRAHMA SATYAM JAGAN MITHYA, JIVO
BRAHMAIVA NA APARAH,”yang artinya bahwa Brahman (Yang Mutlak) sajalah yang
nyata, dunia ini tidak nyata dan Jiva tidak berbeda dengan Brahman, (Sudiani, 2012; 72).
- Pandangan
Advaita Vedanta
·
Brahman
Hanya Brahman yang nyata, selain
Brahman seluruh alam semesta beserta isinya adalah maya. Sedangkan Atman adalah Brahman
yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun memiliki sifat-sifat yang sama dengan
Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maha
tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati.
·
Atman
Jiwa
adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma saja Brahman disini
menampakkan dirinya dengan sarana tambahan Antah Karana (upadhi) yang
konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri. Selain Antah
Karana, Karma Wasana juga ada pada tubuh halus yang kemudian menentukan
kehidupan manusia selanjutnya.
·
Maya
Alam semesta atau dunia dipandang
sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak
nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan alam semesta, Sankara
menerima teori Samkya.
·
Moksa
Tujuan hidup tertinggi menurut
Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman.
Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati itu maka ia mencapai
kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman.
- Pokok-pokok
ajaran Advaita Vedanta
·
Mengikuti
petunjuk guru
·
Hanya
keberadaan Brahman yang mutlak
·
Pencapaian
kebebasan
- Epistimologi ajaran Advaita mengakui adanya enam
jenis, dua dari yang pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
·
Pratyaksa (pengamatan langsung)
·
Anumana (kesimpulan)
·
Upamana (perbandingan)
·
Sabda (kesaksian)
·
Arthapati (persangkaan atau perkiraan tanpa
bukti)
·
Anupalabdi (tanpa pengamatan).
- Aksiologi Advaita Vedanta
·
Atman adalah Brahman seutuhnya yang tidak dapat
dibagi-bagi, dengan merealisasikan hal itu akan membuat seseorang mencapai
kelepasan.
·
Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh
alam semesta beserta isinya adalah ilusi belaka.
·
Timbul cinta kasih yang sangat mendalam terhadap
semua mahluk karena terealisasikannya ajaran “Tat Twam Asi”.
·
Menyatukan berbagai aliran agama karena Advaita
merupakan filsafat kesatuan dan menghormati semua mahluk.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmaja, I.B Oka
Punia. 1989. Upanisad-Upanisad
Utama. Yayasan Parijata: Jakarta
Selatan
Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha).Surabaya: Paramita.
Ngurah, I Gusti
Made dkk. 1999. Buku
Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Paramita: Surabaya .
Putra, Ngakan
Putu. 2014. Kamu Adalah Tuhan. Media Hindu.
Sumawa, I Wayan
& Krisnu, Djokorda Raka. 1996. Materi
Pokok Darsana.
https://Sundaridharma.blogspot.co.id
https://Sundaridharma.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar