DARSANA
ADVAITA VEDANTA
Dosen Pengampu:
Dra. A.A Oka Puspa,M.Pd.H
Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita
1509.10.0038
(Penerangan Agama Hindu)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
HINDU
DHARMA NUSANTARA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bunga adalah salah satu bagian dari organ
tumbuhan yang salah satunya berfungsi sebagai cikal bakal terbentuknya zigot
atau keturunan baru. Dalam dunia tumbuhan, bunga terdiri dari beberapa bagian,
antara lain: tangkai bunga, kelopak, mahkota(umumnya indah dan berwarna), putik
dan benang sari. Bunga memiliki banyak bentuk dan warna, tergantung dari jenis
tanamannya, Bunga juga memiliki daya keindahan yang dapat membuat takjub orang.
Oleh karena itu bunga memiliki nilai seni yakni dari segi keindahannya.
Dari segi religi, bunga juga merupakan salah
satu aspek penting. Sebagai contoh, masyarakat agama Hindu pada umumnya
menggunakan bunga sebagai sarana upacara dan persembahyangan. Disamping itu,
masyarakat di Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan
dari nenek moyang mereka, misalnya upacara perkawinan adat jawa juga
menggunakan bunga. Begitu pula dengan masyarakat Eropa dan Amerika dalam acara
pernikahanya salah satu dari mempelai pasti memakai atau membawa bunga saat
melangsungkan acara pernikahannya.
Bunga yang merupakan sarana pokok dan sangat
banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana berupa bunga yang memiliki peranan
yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembhan atau
yadnya, baik yang digunakan untuk yadnya setiaphari atau nitya karma, maupun
untuk keperluan yadnya sewaktu-waktu tertentu atau naimitika karma. Kalau kita
perhatikan kaitannya dengan panca yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat
banten/sesajen atau upacara yadnya. Berangkat dari hal tersebut maka dalam
makalah ini akan menjelaskan tentang Makna
Dan Filosofi Bunga Dalam Upacara Yadnya.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian bunga dalam upacara yadnya ?
2.
Apa fungsi bunga dalam upacara yadnya ?
3.
Apa makna bunga dalam upacara yadnya?
4.
Bunga apa saja yang baik digunakan dalam upacara yadnya?
5.
Bunga apa saja yang tidak boleh digunakan dalam upacara
yadnya?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui arti bunga dalam upacara yadnya
2.
Mengetahui fungsi bunga dalam upacara yadnya
3.
Mengetahui makna bunga dalam upacara yadnya
4.
Mengetahui bunga yang baik digunakan dalam upacara yadnya
5.
Mengetahui bunga yang tidak baik digunakan dalam
upacara yadnya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Bunga Dalam Upacara Yadnya
Bunga merupakan
sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana berupa
bunga yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan
kesempurnaan suatu persembhan atau yadnya, baik yang digunakan untuk yadnya
setiaphari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yadnya sewaktu-waktu
tertentu atau naimitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan panca
yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten/sesajen atau upacara
yadnya.
Kemudian dalam
kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu sarana biasa untuk
menumbuhkan suasana keindahan dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatu
kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga maupun aktivitas
kemasyarakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional dan sebagainya.
Dan bilamana kita menyempatkan diri untuk sejenak melihat kesibukan suatu pasar
(khusnya pasar yang ada di Bali) banyak pedagang yang kita jumpai, dan yang
tidak ketinggalan adalah para pedagang yang memberikan pelayanan pada pembeli
untuk memenuhi sarana yadnya-Nya. Sungguh banyak manfaat dan kegunaan bunga
dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia. Demikian juga halnya dalam kaitannya
dengan kehidupan bagi umat hidhu, bunga memiliki nilai religius, nilai spritual
dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Bunga yang digunakan untuk keperluan
yadnya atau persembahan, bukannya bunga yang sembarang atau bunga yang
diperoleh asal ada dan asal dapat, tetapi bunga yang yang dipilih khusus sesuai
dengan sumber-sumber sastra suci dalam agama hindu.
Dalam sastra
Bhagawad Gita IX.26 yang berbunyi
tentang
“patram
puspam phatam toyam,
Yo me bhktya prayacchati,
Tad aham bhaktyaupahritam,
Asnami pryatatmanah”.
Yo me bhktya prayacchati,
Tad aham bhaktyaupahritam,
Asnami pryatatmanah”.
Artinya:
barang siapa yang menghaturkan upakara berupa
daun, bunga, buah dan air akan diterima beliau, dan juga didasari dengan
perasaan dan hati yang bersih.
Dalam sloka
tersebutada penegasan tentang penggunaan bunga sebagai sarana dalam upacara
yadnya. Dalam sloka tersebut ada tersirat kata puspam yang maksudnya adalah
bunga yang digunakan sebagai sarana suci dalam upacara yadnya, istilah lain
dari bunga adalah puspa,kembang, dan ada juga menyebut dengan nama khusuma. Puspa
atau kembang merupakan wujud benda yang disungguhkan sebagai cara menunjukkan
perasaan yang dapat memberikan kepuasa. Puspa/kembang merupakan sarana untuk
menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang
mempersembahkan yadnya sebagai wujud upakaranya.
Sebagai landasan
utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang
disertai dengan cinta kasih walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan
sekuntum bunga, apabila dilandasi dengan cita kasih yang menyertainya, maka
persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Yang Widhi, kemudian sebaliknya
persembahan yang serba banyak dan serba murah, serta semarak jika tidak
dilandasi dengan ketulusan hati akan percuma, karena tidak akan ada pahala yang
baik bagi mereka yang mempersembahkan dengan rasa pamrih.
Memang dalam kitab
Reg Weda kita jumpai hari yadnya, dimana Maha Purusa dalam menciptakan dunia
ini. Ia lakukan melalui pengorbanan yang tertinggiadalah korban yang dilakukan
dengan mengorbankan diri sendiri. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut tidak
lain dari padanya karena maha purusa pada permulaan ciptannya menjadikan semua
ini dengan jalan berkorban yang berasal dari dirinya. Sehingga dengan demikian
dunia dan isinya ini identik dengan-Nya.
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
“Om Puspa Dantaya
Namah (puspa)
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)”
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)”
Yang dimaksud dengan
puspa-danta ialah Siwa, gelar yang diberikan kepada Ciwa. Dari matra di atas
penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebgai alat, tetapi sebagai lambang
siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya. Aksata atau biji-bijan berupa beras
adalah lambang benih (biji) kumara adalah putra siwa. Aksata adalah hasil satu
ciptaan yang tidak lain adalah tuhan itu sendiri. Gandha adalah bau harum yang
bersal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu, gandha adalah sifat yang
tidak terpisah. Gandha diumpamkan sebagai amerta (lambang kehidupan yang
abadi). Gandha adalah amerta yang di dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa
sebagai Iswara.
Dari mantra di atas
yaitu mantram puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud dari
Sang Hyang Puspa dantanya, merupakan gelar yang widhi wasa. Dengan demikian
adanya bunga sebagai puspa sebagai lambang siwa dan adanya bunga sebagai sarana
persembahan atau sarana pemujaan kehadapan yang widhi wasa.
2.2 Fungsi Bunga Dalam Upacara Yadnya
Dalam
fungsinya sebagai sarana upacara yadnya maka bunga juga untuk sarana
persembahyangan, sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana untuk menumbuhkan
suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri, dan sebagai
kelengkapan membuat bebanten atau upakara. Perlu diingat bahwa bunga mempunyai
dua fungsi yang utama yaitu:
1.
Sebagai wujud atau simbol siwa atau Hyang Widhi atau
Sang Hyang Puspa Danta
Seperti tercemin dalam mantra berikut
ini: Om puspa danta ya namah swaha (Wedaparikrama). Dalam sembahyang bunga
diletakkan pada ujung kedua jari paling atas (puncak) dan cakupan tangan berada
di atas ubun-ubun setelah selesai disuntingkan di kedua telinga atau di taruh di
ubun-ubun yang bermakna sebagai simbol Siwa/Hyang Widhi.
2.
Sebagai sarana atau pemujaan.
Karena dipakai bebanten atau sarana
upakara yang dipersembahkans kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh
suci leluhur. (Bahgawad Gita IX.26).
Memperhatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yadnya, maka sesungguhnya makna dari upakara yadnya atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain: merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kepada Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diwujudkan dengan isidunia, yang berupa air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya merupakan alat juga upakara yadnya atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan ke Maha Kuasaannya untuk menentukan dan memberikan anugrah kepada umat Hindu.
Memperhatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yadnya, maka sesungguhnya makna dari upakara yadnya atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain: merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kepada Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diwujudkan dengan isidunia, yang berupa air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya merupakan alat juga upakara yadnya atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan ke Maha Kuasaannya untuk menentukan dan memberikan anugrah kepada umat Hindu.
2.3
Makna
Bunga Dalam Upacara Yadnya
Makna bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare
pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang
ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu
persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita
suci. Dalam beberapa naskah keagamaan ada di jumpai penjelasan mengenai
bunga yang memiliki arti dan makna tertentu. Penjelasan mengenai bunga sebagai
perlambang restu dari Hyang Widhi dapat dijumpai dalam beberapa naskahkeagamaan
antra lain.
1.
Dalam kekawi Arjuna Wiwaha ada menegaskan dalam
keberhasilan Sang Arjuna melakukan tapa, brta, yoga, dan smadi dan sebagai
bukti Hyang Widhi merestui tapanya maka secara tiba-tiba berhamburan hujan
bunga puspa warsa yaitu hujan bunga sebagai lambang Dewa Siwa (Hyang Widhi)
telah merestui tapanya. Sang arjuna dengan mendapatkan Anugrah panah pasupati yang
merupakan senjata lambang kekuatan dharma.
2.
Dalam kidung Aji kembang bahwa Dewata Nawa Sanga
dilambangkan bungan tunjung atau teratai yang berwarna sembilan sesuai dengana
arah Asta Aiswarya atau Asta Dala seperti Dewa Iswara arah timur dengan warna
tunjung putih, Dewa Maheswara arah tenggara dengan lambang bunga tunjung dadu,
Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa Rudra arah
barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah barat dengan
warna kuning, Dewa Sangkara arah barat laut dengan lambang bunga tunjung hitam,
Dewa Sambhu arah timur laut dengan lambang bunga tunjung biru, dan Dewa Siwa
arah tengah dengan lambang bunga tunjung lima warna.penggunaan kidung aji
kembang yang memiliki makan suci ini biasanya dinyanyikan saat pelaksanaan
upacara pitra yadnya.
3.
Dalam naskah Dwijendra Tatwa menjelasakan bunga
tertai yang berwarna tiga seperti, bunga teratai putih pada arah timur, bunga
tertai warna hitam arah utara, dan bunga teratai warna merah arah selatan.
Ketiga jenis bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti.
4.
Menyimak kisah cinta Hari Wangsa ada ketulusan
dan cetusan kasih prabu kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum
bunga sebagai lambang kasihnya yang suci murni dan tiada duanya.
Sedangkan mengenai arti
atau makna bunga sebagai sarana keagmaan atau sarana upacara yadnya. Sangat
penting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia seperti: makna religius
atau makna spritual serta makna kesucian penggunaan sarna bunga dalam upacara
yadnya sangat banyak kita jumpai. Dalam berbagai upakara atau bebantenan,
bunga merupakan sarana pokok dan mengadung makna tersendiri sesuai dengan jenis
dan wujud bantennya. Kemudian bunga sebagai lambang dan jiwa pikiran manusia.
Dalam rangkaian upacara pitra yadnya kita menjumpai adanya penggunaan sekarura
yang merupakan campuran bunga ,uang kepeng, dan beras kuning. Ini biasanya
ditaburkan mulai dari mayat diberangkatkan sampai di setra. Sesungguhnya makna
dari sakarura ini adalah lambang ungkapan perasaanatau hati nurani antara orang
yang meninggalkan dengan orang yang ditinggalkan.
Adapun beberapa upakara yang menggunakan bunga
sebagai sarananya antara lain canang genten yang melambangkan Ida Sang Hyang
Widhi dalam manifestasinya sebagai tri murti, masing-masing sarananya memiliki
arti tertentuseperti reringgita: melambangkan kelanggengan/kesungguhan hati,
plawe melambangakan ketenangan, sirih melambangkan Hyang Wisnu, kapur lambang
Siwa, buah pinang lambang panunggalan, bunga lambang dari hatiyang tulus dan
ikhlas serta suci, panda wangi memiliki daya rangsang untuk memutuskan pikiran
ke arah kesucian dalam pemujaan Ida Hyang Widhi Wasa.
2.4
Bunga
Yang Baik Digunakan Dalam Upacara Yadnya
Berdasarkan sumber
sastra Hindu ada menegaskan perlunya melakukan persembahyangan dengan sarana
yang dibenarkan oleh ajaran Agama Hindu serta yang memiliki nilai kesucian.
Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga
dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan
sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu
semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat
berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping
memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi
unsur kesucian. Ada berbagai jenis, bentuk, dan corak bunga. Namun, tidak semua
bunga dapat digunakan dengan sembarangan sebagai sarana persembahyangan. Bunga
yang baik digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh,
tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak
layu, tidak kering dan bukan hasil dari mencuri(tindakan criminal) atau bisa
dikatakan bunga yang masih suci dan sama sekali belum pernah terpakai. Dalam
kitab Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang
aksara suci. Adapun bunyi slokanya adalah:
Nkana
ring antahhrdaya karonan bhatara siwa. Pujanta sira satata maka karana Sang
Hyang Catur Dasaksara. Catur Dasaksara ngaranya Sang – Bang – Tang – Ang – Ing
– Nang – Mang – Sing – Wang – Yang – Ang – Ung – Mang – Om. Sirata Sang Hyang
Catur Dasaksara ngaranira Sira kaharan puspa, sumekar, sugandha mawangi
nirantara, ya ta pamujantara ring Bhatara Sada Kala.
Artinya:
Di
sana di dalam inti hati beradanya Bhatara. Hendaknya Beliau, engkau puja selalu
dengan sarana empat belas aksara suci. Empat belas aksara suci namanya: sang
bang tang ang ing nang mang sing wang yang an gung mang om. Beliaulah Sang
Hyang Catur Dasaksara namanya. Beliau disebut pula dengan bunga mekar, berbau
wangi tiada batas.
Dengan demikian perlu
dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana
pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yadnya secara umum, perlu
diingat bunga sebagai sarana dalam upacara yadnya sebelum digunakan hendaknya
terlebih dahulu diperciki tirta panglukatan agar terbebas dari segala jenis
kekotoran dan mala. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebgai
persembahan atau sarna adalah jenis bunga yang dapat menghindarkan umatnya dari
perbuatan-perbuatan dosa atau malapetaka, antara lain:
·
Dalam kekawin Siwalatri Kalpa, menyebutkan:
menuh, kenyiri, gambir raja, kecubung,serta nuduri putih dan bunga kutat asoka
serta bunga cempaka, sroja putih, merah, putih, semua bunga yang memiliki
kesucian hendaknya dipetik yang demikian. Sebagai pemujaan pagi-pagi bunga
selasih sebagai sarana pemujaan beliau (Siwa).
·
Dalam lontar Wariga Cemet, ada juga menjelaskan
tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan
Atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain Bunga Jepun, Sari,
Sincer, Pucuk pucat, Tulud nyuh, Kwanta, Soka kling, Kenyiri putih, Gambir
lima, tiga kuncu, sedap malam, anggrek bulan, gunggeng cina, mawar, pucuk dadu,
tunjung bans, jepun sudamala, sruni putih, anggrek madu, sari konta dan masih
ada yang lain.
·
Dalam naskah Siwa gama dan menegaskan beberapa
bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yadnya terutama
untuk membuat puspa lingga, serangkaian upacara pitra yadnya yakni untuk memuja
upacara pitra dan roh suci leluhur terutama dalam upacara atma wedana (Nyekah)
antara lain: Bunga medori putih dan bambu buluh.
·
Dalam naskah Darsana, menyebutkan tentang bunga
yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara
yadnya adalah bunga tunjung atau bunga teratai. Bunga tunjung atau teratai
dikatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma. Ditegaskan pula
apabila bunga teratai tidak ada dapat juga menggunakan jenis yang lain.
Disamping itu juga ada bunga yang memiliki pilar yang utama dalam upacara
yadnya adalah Bunga Ratna. Bunga ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja
Tuhan/Hyang Widhi Wasa atau sarana dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki
nilai keutamaan merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang
memandangnya dengan demikian bunga yang demikian itulah yang dapat digunakan
sebagai sarana pemujaan.
2.5
Bunga
Yang Tidak Baik Digunakan Dalam Upacara Yadnya
Secara prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan
sebagai sarana persembahyangan yakni bunga yang pusuh (belum
kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau sudah
gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau ulat.
Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pada
konsep bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga
tersebut suci, bersih, mekar dan harum.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa
uraian yang membahas tentang jenis bunga yang dilarang dalam penggunaannya
sebagai sarana upacara yadnya berdasarkan ajaran Agama Hindu. Dalam Naskah Agastia
Parwa menegaskan
“nihan ikan kembah, tan yogya puja kene rin
batara; kembah huleren kemban rurutan inunduh, kembah semutan, kembah layuan
naranya alewan mekar – kembah munggah ring seme. Nahan ta lwir nin kemban tan
yogya pujakene de nika san satwika kemban uttama ta pujeken ira maran saphala
rupa nira, apan magawe ya janma lawan rupa ikan tuhagana muja naranya ”
Yang berarti:
Inilah bunga yang tidak
dapat untuk dipersembahkan kepada Bhatara, Bunga yang berulat, bunga yang gugur
tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang
lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga
yang tidak patut untuk dipergunakan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang
dipersembahkan. Sebab orang yang selalu mumusa tersebut akan membentuk kelahiran
dan wajahnya. Dalam sumber yang sama,berikut ini menegaskan bagaimana kekuatan
bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bukti sloka
sebagai berikut:
“Kunan ikang Stri mahalatanpapirak, tanpajanma, tan wuruh maniwi swani,
mogha kinasihan denin laki wisese monke sila nikan nuni: Jnanan bhaktis tu
nethe ya, bhakti maswami nuniweh ri dewata ikanuri ndatan tebet bhakti niki,
tan upakara phalanin bhaktinya resep. Dumehnye wirupa mwan tanpa Janma. Tan
wuruh amehelepa silanya nuni, agilem anujaken kemban tan yogya pujakene, tan
aradin, olih bwat jawanya, apan samanke kemban tan Yogya pujekene rin
bhatttara”
Yang artinya:
Wanita buruk rupa,
tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bisa melayani swami, tetapi disayang oleh
laki-laki utama perbuatannya dahulu demikian, ia itu bakti kepada swami, bhakti
kepada bhatara,tetapi bhaktinya tidak tepat,karena tanpa upakara itulah yang
menyebabkan ia menjadi buruk rupa dan tidak bangsawan sifatnya dahulu ialah
tidak tahu menjadikan tingkah sopan dahulu ia gemar mempersembahkan bunga yang
tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena
kembang yang tidak patut dipersembahkannya kepada Bhatara.
Menyimak makna sloka
tersebut di atas, maka dapat ditegaskan di sini walaupun sungguh besar rasa
bhakti ke hadapan Hyang Widhi dan kepada sesama ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti
tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa upakara yadnya maka
kuranglah bermakna cetusan rasa bakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun
sudah mewujudkan rasa bakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan upakara
yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada
tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan,
mempersembahkan sarana yadnya yang tidak suci, persembahannya itu camah (kotor)
mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan (yang bukan miliknya), termasuk
juga disini mempersembahkan bunga/kembang/ puspa/sekar yang tidak baik sesuai
dengan landasan Dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu
diingat bahwa rasa bakti kehadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara Yadnya
yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yadnya itu
sendiri.
Khusus untuk bunga
yang dimakan semut atau ulat, alasannya sebetulnya sangat logis. Bunga yang
dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih lagi. Mungkin di bunga itu ada
kotoran dari semut atau ulat yang memakannya. Begitu pula bila bunga itu
disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa kemasukan ulat atau semut.
Selain itu, ada juga bunga yang dipantangkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana
sesaji upacara karena bunga tersebut dimitoskan telah dikutuk oleh dewa seperti
menyebut bunga tulud nyuh atau jempiring
alit (Gardenia augusta Merr) serta bungasalikanta pantang
digunakan untuk sembahyang. Pasalnya, bunga ini disebutkan tidak
mendapatkan penglukatan atau pembersihan dari Dewa Siwa.
Mitologi ini termuat
dalam lontar Aji Yanantaka. Diceritakan “dalam
kerajaan Yanantaka sedang berkecamuk penyakit lepra. Raja dan para patih juga
ikut terserang penyakit tersebut. Semua dukun sudah mencoba mengobati tetapi
tak satu pun ada yang mempan. Sang raja kemudian mengutus mahapatihnya
untuk menghadap Dewa Siwa mohon perlindungan. Dewa Siwa bersedia menghilangkan
semua penyakit itu. Lantaran Dewa Siwa berwujud dewa, tidak dapat langsung
bertemu dengan manusia, maka kerajaan Yanantaka di-pralina menjadi hutan
belantara. Tidak tampak lagi wujud manusia. Setelah itu, barulah Dewa
Siwa turun ke Yanantaka. Semua kayu dan pohon, termasuk tanaman bunga datang
satu per satu mohon penglukatan Dewa Siwa. Namun, hanya dua pohon bunga
yakni jempiring alit dan salikanta yang tidak mau
minta penglukatanDewa Siwa. Karena itu, Dewa Siwa mengutuk kedua bunga
tersebut tidak boleh dipakai sarana dalam pemujaan.
Pantangan yang dilatarbelakangi mitos juga berlaku
untuk bunga turuk umung atau kedukduk. Mitologi tentang
bunga ini termuat dalam lontar Siwagama. Diceritakan ”Dewi
Uma melahirkan dua orang putra, seorang berupa raksasa dan seorang sangat tampan
diberi nama Sang Kumara. Selesai melahirkan, kain dalam (tapih) yang penuh
darah itu dicuci dalam telaga Rambawa dan dijemur di sebelahnya. Kain dalam itu
direbut lalat dan tumbuh pohon bunga turuk umung atau kedukduk,Dewi
Uma kemudian memastu bunga turuk umung atau kedukduk tidak
boleh digunakan persembahan”. Secara logika kita bisa memahami bahwa,bunga
yang direbut lalat tentu tidak harum baunya, karena kotor/tidak suci.
Bunga lainnya yang dikenal tidak patut digunakan untuk
sarana banten yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti
Yadnya disebutkan bahwa: “bunga gemitir disebut-sebut berasal
dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah
mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam
lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk
persembahan. Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna
kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang warnanya merah tidak
diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara.” Selain itu,
bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha, karena
cepat busuk dan mengundang bibit penyakit,”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bunga
merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana
berupa bunga yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan
kesempurnaan suatu persembahan atau yadnya, Kalau kita perhatikan kaitannya
dengan panca yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten/sesajen atau
upacara yadnya. Dalam fungsinya sebagai sarana upacara yadnya maka bunga juga
untuk sarana persembahyangan, sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana untuk
menumbuhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri, dan
sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara. Perlu diingat bahwa bunga
mempunyai dua fungsi yang utama yaitu: Sebagai wujud atau simbol siwa atau
Hyang Widhi atau Sang Hyang Puspa Danta, Sebagai sarana atau pemujaan.
Makna bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan
sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu
sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga yang baik
digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh, tidak tumbuh
dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak
kering dan bukan hasil dari mencuri(tindakan criminal) atau bisa dikatakan
bunga yang masih suci dan sama sekali belum pernah terpakai. Dalam kitab Jnana
Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara suci. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam
persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa, inilah bunga yang tidak
patut dipersembahkan kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur
tanpa diguncang, bunga berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa
mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan.
Om swas Bpk. Mhon ijin sharing.
BalasHapusApa tdk salah dlm kutipan Bgwd gt. Bab IX. 26. Kata phatam semestinya phalam (buah).
Patram, puspam, phalam, toyam.
Daun, bunga, buah dan air.
Smg tdk salah. Suksma.