Sabtu, 09 Desember 2017

makna dan filosofi daun dalam upacara yadnya

DARSANA
ADVAITA VEDANTA
Dosen Pengampu:
Dra. A.A Oka Puspa,M.Pd.H


Description: C:\Users\toshiba\Documents\logo_stah_pasca_lokakarya.jpg


Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita      
1509.10.0038  
    (Penerangan Agama Hindu)


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Bunga adalah salah satu bagian dari organ tumbuhan yang salah satunya berfungsi sebagai cikal bakal terbentuknya zigot atau keturunan baru. Dalam dunia tumbuhan, bunga terdiri dari beberapa bagian, antara lain: tangkai bunga, kelopak, mahkota(umumnya indah dan berwarna), putik dan benang sari. Bunga memiliki banyak bentuk dan warna, tergantung dari jenis tanamannya, Bunga juga memiliki daya keindahan yang dapat membuat takjub orang. Oleh karena itu bunga memiliki nilai seni yakni dari segi keindahannya.
Dari segi religi, bunga juga merupakan salah satu aspek penting. Sebagai contoh, masyarakat agama Hindu pada umumnya menggunakan bunga sebagai sarana upacara dan persembahyangan. Disamping itu, masyarakat di Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang mereka, misalnya upacara perkawinan adat jawa juga menggunakan bunga. Begitu pula dengan masyarakat Eropa dan Amerika dalam acara pernikahanya salah satu dari mempelai pasti memakai atau membawa bunga saat melangsungkan acara pernikahannya.
Bunga yang merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana berupa bunga yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembhan atau yadnya, baik yang digunakan untuk yadnya setiaphari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yadnya sewaktu-waktu tertentu atau naimitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan panca yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten/sesajen atau upacara yadnya. Berangkat dari hal tersebut maka dalam makalah ini akan menjelaskan tentang Makna Dan Filosofi Bunga Dalam Upacara Yadnya.




1.2              Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian bunga dalam upacara yadnya ?
2.      Apa fungsi bunga dalam upacara yadnya ?
3.      Apa makna bunga dalam upacara yadnya?
4.      Bunga apa saja yang baik digunakan dalam upacara yadnya?
5.      Bunga apa saja yang tidak boleh digunakan dalam upacara yadnya?
1.3              Tujuan
1.      Mengetahui arti bunga dalam upacara yadnya
2.      Mengetahui fungsi bunga dalam upacara yadnya
3.      Mengetahui makna bunga dalam upacara yadnya
4.      Mengetahui bunga yang baik digunakan dalam upacara yadnya
5.      Mengetahui bunga yang tidak baik digunakan dalam upacara yadnya


BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Bunga Dalam Upacara Yadnya
Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana berupa bunga yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembhan atau yadnya, baik yang digunakan untuk yadnya setiaphari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yadnya sewaktu-waktu tertentu atau naimitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan panca yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten/sesajen atau upacara yadnya.
Kemudian dalam kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu sarana biasa untuk menumbuhkan suasana keindahan dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatu kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga maupun aktivitas kemasyarakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional dan sebagainya. Dan bilamana kita menyempatkan diri untuk sejenak melihat kesibukan suatu pasar (khusnya pasar yang ada di Bali) banyak pedagang yang kita jumpai, dan yang tidak ketinggalan adalah para pedagang yang memberikan pelayanan pada pembeli untuk memenuhi sarana yadnya-Nya. Sungguh banyak manfaat dan kegunaan bunga dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia. Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan kehidupan bagi umat hidhu, bunga memiliki nilai religius, nilai spritual dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Bunga yang digunakan untuk keperluan yadnya atau persembahan, bukannya bunga yang sembarang atau bunga yang diperoleh asal ada dan asal dapat, tetapi bunga yang yang dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam agama hindu.
Dalam sastra Bhagawad Gita IX.26  yang berbunyi tentang
“patram puspam phatam toyam,
Yo me bhktya prayacchati,
Tad aham bhaktyaupahritam,
Asnami pryatatmanah”.

Artinya:
 barang siapa yang menghaturkan upakara berupa daun, bunga, buah dan air akan diterima beliau, dan juga didasari dengan perasaan dan hati yang bersih.
Dalam sloka tersebutada penegasan tentang penggunaan bunga sebagai sarana dalam upacara yadnya. Dalam sloka tersebut ada tersirat kata puspam yang maksudnya adalah bunga yang digunakan sebagai sarana suci dalam upacara yadnya, istilah lain dari bunga adalah puspa,kembang, dan ada juga menyebut dengan nama khusuma. Puspa atau kembang merupakan wujud benda yang disungguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasa. Puspa/kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mempersembahkan yadnya sebagai wujud upakaranya.
Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila dilandasi dengan cita kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Yang Widhi, kemudian sebaliknya persembahan yang serba banyak dan serba murah, serta semarak jika tidak dilandasi dengan ketulusan hati akan percuma, karena tidak akan ada pahala yang baik bagi mereka yang mempersembahkan dengan rasa pamrih.
Memang dalam kitab Reg Weda kita jumpai hari yadnya, dimana Maha Purusa dalam menciptakan dunia ini. Ia lakukan melalui pengorbanan yang tertinggiadalah korban yang dilakukan dengan mengorbankan diri sendiri. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut tidak lain dari padanya karena maha purusa pada permulaan ciptannya menjadikan semua ini dengan jalan berkorban yang berasal dari dirinya. Sehingga dengan demikian dunia dan isinya ini identik dengan-Nya.
Di dalam mantram Weda Parikrama, ada mantram untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut
“Om Puspa Dantaya Namah (puspa)
Om Kum-kumara Wija yanamah (Aksata)
Omsrigandha Cwari-amerta bhyo swaha (gandha)”
Yang dimaksud dengan puspa-danta ialah Siwa, gelar yang diberikan kepada Ciwa. Dari matra di atas penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebgai alat, tetapi sebagai lambang siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya. Aksata atau biji-bijan berupa beras adalah lambang benih (biji) kumara adalah putra siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah tuhan itu sendiri. Gandha adalah bau harum yang bersal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu, gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamkan sebagai amerta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amerta yang di dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa sebagai Iswara.
Dari mantra di atas yaitu mantram puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud dari Sang Hyang Puspa dantanya, merupakan gelar yang widhi wasa. Dengan demikian adanya bunga sebagai puspa sebagai lambang siwa dan adanya bunga sebagai sarana persembahan atau sarana pemujaan kehadapan yang widhi wasa.

2.2       Fungsi Bunga Dalam Upacara Yadnya
            Dalam fungsinya sebagai sarana upacara yadnya maka bunga juga untuk sarana persembahyangan, sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana untuk menumbuhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara. Perlu diingat bahwa bunga mempunyai dua fungsi yang utama yaitu:
1.      Sebagai wujud atau simbol siwa atau Hyang Widhi atau Sang Hyang Puspa Danta
Seperti tercemin dalam mantra berikut ini: Om puspa danta ya namah swaha (Wedaparikrama). Dalam sembahyang bunga diletakkan pada ujung kedua jari paling atas (puncak) dan cakupan tangan berada di atas ubun-ubun setelah selesai disuntingkan di kedua telinga atau di taruh di ubun-ubun yang bermakna sebagai simbol Siwa/Hyang Widhi.

2.      Sebagai sarana atau pemujaan.
Karena dipakai bebanten atau sarana upakara yang dipersembahkans kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur. (Bahgawad Gita IX.26).
Memperhatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yadnya, maka sesungguhnya makna dari upakara yadnya atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan antara lain: merupakan cetusan hati manusia (umat hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kepada Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diwujudkan dengan isidunia, yang berupa air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya merupakan alat juga upakara yadnya atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan ke Maha Kuasaannya untuk menentukan dan memberikan anugrah kepada umat Hindu.

2.3           Makna Bunga Dalam Upacara Yadnya
Makna bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci. Dalam beberapa naskah keagamaan ada di jumpai penjelasan mengenai bunga yang memiliki arti dan makna tertentu. Penjelasan mengenai bunga sebagai perlambang restu dari Hyang Widhi dapat dijumpai dalam beberapa naskahkeagamaan antra lain.
1.      Dalam kekawi Arjuna Wiwaha ada menegaskan dalam keberhasilan Sang Arjuna melakukan tapa, brta, yoga, dan smadi dan sebagai bukti Hyang Widhi merestui tapanya maka secara tiba-tiba berhamburan hujan bunga puspa warsa yaitu hujan bunga sebagai lambang Dewa Siwa (Hyang Widhi) telah merestui tapanya. Sang arjuna dengan mendapatkan Anugrah panah pasupati yang merupakan senjata lambang kekuatan dharma.
2.      Dalam kidung Aji kembang bahwa Dewata Nawa Sanga dilambangkan bungan tunjung atau teratai yang berwarna sembilan sesuai dengana arah Asta Aiswarya atau Asta Dala seperti Dewa Iswara arah timur dengan warna tunjung putih, Dewa Maheswara arah tenggara dengan lambang bunga tunjung dadu, Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa Rudra arah barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah barat dengan warna kuning, Dewa Sangkara arah barat laut dengan lambang bunga tunjung hitam, Dewa Sambhu arah timur laut dengan lambang bunga tunjung biru, dan Dewa Siwa arah tengah dengan lambang bunga tunjung lima warna.penggunaan kidung aji kembang yang memiliki makan suci ini biasanya dinyanyikan saat pelaksanaan upacara pitra yadnya.
3.      Dalam naskah Dwijendra Tatwa menjelasakan bunga tertai yang berwarna tiga seperti, bunga teratai putih pada arah timur, bunga tertai warna hitam arah utara, dan bunga teratai warna merah arah selatan. Ketiga jenis bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti.
4.      Menyimak kisah cinta Hari Wangsa ada ketulusan dan cetusan kasih prabu kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum bunga sebagai lambang kasihnya yang suci murni dan tiada duanya.
Sedangkan mengenai arti atau makna bunga sebagai sarana keagmaan atau sarana upacara yadnya. Sangat penting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia seperti: makna religius atau makna spritual serta makna kesucian penggunaan sarna bunga dalam upacara yadnya sangat banyak kita jumpai. Dalam berbagai upakara atau bebantenan, bunga merupakan sarana pokok dan mengadung makna tersendiri sesuai dengan jenis dan wujud bantennya. Kemudian bunga sebagai lambang dan jiwa pikiran manusia. Dalam rangkaian upacara pitra yadnya kita menjumpai adanya penggunaan sekarura yang merupakan campuran bunga ,uang kepeng, dan beras kuning. Ini biasanya ditaburkan mulai dari mayat diberangkatkan sampai di setra. Sesungguhnya makna dari sakarura ini adalah lambang ungkapan perasaanatau hati nurani antara orang yang meninggalkan dengan orang yang ditinggalkan.
 Adapun beberapa upakara yang menggunakan bunga sebagai sarananya antara lain canang genten yang melambangkan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai tri murti, masing-masing sarananya memiliki arti tertentuseperti reringgita: melambangkan kelanggengan/kesungguhan hati, plawe melambangakan ketenangan, sirih melambangkan Hyang Wisnu, kapur lambang Siwa, buah pinang lambang panunggalan, bunga lambang dari hatiyang tulus dan ikhlas serta suci, panda wangi memiliki daya rangsang untuk memutuskan pikiran ke arah kesucian dalam pemujaan Ida Hyang Widhi Wasa.

2.4           Bunga Yang Baik Digunakan Dalam Upacara Yadnya
Berdasarkan sumber sastra Hindu ada menegaskan perlunya melakukan persembahyangan dengan sarana yang dibenarkan oleh ajaran Agama Hindu serta yang memiliki nilai kesucian. Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Ada berbagai jenis, bentuk, dan corak bunga. Namun, tidak semua bunga dapat digunakan dengan sembarangan sebagai sarana persembahyangan. Bunga yang baik digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak kering dan bukan hasil dari mencuri(tindakan criminal) atau bisa dikatakan bunga yang masih suci dan sama sekali belum pernah terpakai. Dalam kitab Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara suci. Adapun bunyi slokanya adalah:  
Nkana ring antahhrdaya karonan bhatara siwa. Pujanta sira satata maka karana Sang Hyang Catur Dasaksara. Catur Dasaksara ngaranya Sang – Bang – Tang – Ang – Ing – Nang – Mang – Sing – Wang – Yang – Ang – Ung – Mang – Om. Sirata Sang Hyang Catur Dasaksara  ngaranira Sira kaharan puspa, sumekar, sugandha mawangi nirantara, ya ta pamujantara ring Bhatara Sada Kala.


Artinya:
Di sana di dalam inti hati beradanya Bhatara. Hendaknya Beliau, engkau puja selalu dengan sarana empat belas aksara suci. Empat belas aksara suci namanya: sang bang tang ang ing nang mang sing wang yang an gung mang om. Beliaulah Sang Hyang Catur Dasaksara namanya. Beliau disebut pula dengan bunga mekar, berbau wangi tiada batas.
Dengan demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yadnya secara umum, perlu diingat bunga sebagai sarana dalam upacara yadnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirta panglukatan agar terbebas dari segala jenis kekotoran dan mala. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebgai persembahan atau sarna adalah jenis bunga yang dapat menghindarkan umatnya dari perbuatan-perbuatan dosa atau malapetaka, antara lain:
·         Dalam kekawin Siwalatri Kalpa, menyebutkan: menuh, kenyiri, gambir raja, kecubung,serta nuduri putih dan bunga kutat asoka serta bunga cempaka, sroja putih, merah, putih, semua bunga yang memiliki kesucian hendaknya dipetik yang demikian. Sebagai pemujaan pagi-pagi bunga selasih sebagai sarana pemujaan beliau (Siwa).
·         Dalam lontar Wariga Cemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan Atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain Bunga Jepun, Sari, Sincer, Pucuk pucat, Tulud nyuh, Kwanta, Soka kling, Kenyiri putih, Gambir lima, tiga kuncu, sedap malam, anggrek bulan, gunggeng cina, mawar, pucuk dadu, tunjung bans, jepun sudamala, sruni putih, anggrek madu, sari konta dan masih ada yang lain.
·         Dalam naskah Siwa gama dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yadnya terutama untuk membuat puspa lingga, serangkaian upacara pitra yadnya yakni untuk memuja upacara pitra dan roh suci leluhur terutama dalam upacara atma wedana (Nyekah) antara lain: Bunga medori putih dan bambu buluh.
·         Dalam naskah Darsana, menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yadnya adalah bunga tunjung atau bunga teratai. Bunga tunjung atau teratai dikatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma. Ditegaskan pula apabila bunga teratai tidak ada dapat juga menggunakan jenis yang lain. Disamping itu juga ada bunga yang memiliki pilar yang utama dalam upacara yadnya adalah Bunga Ratna. Bunga ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja Tuhan/Hyang Widhi Wasa atau sarana dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki nilai keutamaan merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya dengan demikian bunga yang demikian itulah yang dapat digunakan sebagai sarana pemujaan.

2.5           Bunga Yang Tidak Baik Digunakan Dalam Upacara Yadnya
Secara prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan sebagai sarana persembahyangan yakni bunga yang pusuh (belum kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau sudah gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau ulat. Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pada konsep bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga tersebut suci, bersih, mekar dan harum.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa uraian yang membahas tentang jenis bunga yang dilarang dalam penggunaannya sebagai sarana upacara yadnya berdasarkan ajaran Agama Hindu. Dalam Naskah Agastia Parwa menegaskan
“nihan ikan kembah, tan yogya puja kene rin batara; kembah huleren kemban rurutan inunduh, kembah semutan, kembah layuan naranya alewan mekar – kembah munggah ring seme. Nahan ta lwir nin kemban tan yogya pujakene de nika san satwika kemban uttama ta pujeken ira maran saphala rupa nira, apan magawe ya janma lawan rupa ikan tuhagana muja naranya ”
Yang berarti:
Inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada Bhatara, Bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut untuk dipergunakan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang dipersembahkan. Sebab orang yang selalu mumusa tersebut akan membentuk kelahiran dan wajahnya. Dalam sumber yang sama,berikut ini menegaskan bagaimana kekuatan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bukti sloka sebagai berikut:
“Kunan ikang Stri mahalatanpapirak, tanpajanma, tan wuruh maniwi swani, mogha kinasihan denin laki wisese monke sila nikan nuni: Jnanan bhaktis tu nethe ya, bhakti maswami nuniweh ri dewata ikanuri ndatan tebet bhakti niki, tan upakara phalanin bhaktinya resep. Dumehnye wirupa mwan tanpa Janma. Tan wuruh amehelepa silanya nuni, agilem anujaken kemban tan yogya pujakene, tan aradin, olih bwat jawanya, apan samanke kemban tan Yogya pujekene rin bhatttara”
Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bisa melayani swami, tetapi disayang oleh laki-laki utama perbuatannya dahulu demikian, ia itu bakti kepada swami, bhakti kepada bhatara,tetapi bhaktinya tidak tepat,karena tanpa upakara itulah yang menyebabkan ia menjadi buruk rupa dan tidak bangsawan sifatnya dahulu ialah tidak tahu menjadikan tingkah sopan dahulu ia gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkannya kepada Bhatara.
Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan di sini walaupun sungguh besar rasa bhakti ke hadapan Hyang Widhi dan kepada sesama ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa upakara yadnya maka kuranglah bermakna cetusan rasa bakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan upakara yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan, mempersembahkan sarana yadnya yang tidak suci, persembahannya itu camah (kotor) mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan (yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga/kembang/ puspa/sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan Dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bakti kehadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara Yadnya yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yadnya itu sendiri.
Khusus untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya sebetulnya sangat logis. Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih lagi. Mungkin di bunga itu ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya. Begitu pula bila bunga itu disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa kemasukan ulat atau semut. Selain itu, ada juga bunga yang dipantangkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana sesaji upacara karena bunga tersebut dimitoskan telah dikutuk oleh dewa seperti menyebut bunga tulud nyuh atau jempiring alit (Gardenia augusta Merr) serta bungasalikanta pantang digunakan untuk sembahyang. Pasalnya, bunga ini disebutkan tidak mendapatkan penglukatan atau pembersihan dari Dewa Siwa.
Mitologi ini termuat dalam lontar Aji Yanantaka. Diceritakan “dalam kerajaan Yanantaka sedang berkecamuk penyakit lepra. Raja dan para patih juga ikut terserang penyakit tersebut. Semua dukun sudah mencoba mengobati tetapi tak satu pun ada yang mempan. Sang raja kemudian mengutus mahapatihnya untuk menghadap Dewa Siwa mohon perlindungan. Dewa Siwa bersedia menghilangkan semua penyakit itu. Lantaran Dewa Siwa berwujud dewa, tidak dapat langsung bertemu dengan manusia, maka kerajaan Yanantaka di-pralina menjadi hutan belantara. Tidak tampak lagi wujud manusia. Setelah itu, barulah Dewa Siwa turun ke Yanantaka. Semua kayu dan pohon, termasuk tanaman bunga datang satu per satu mohon penglukatan Dewa Siwa. Namun, hanya dua pohon bunga yakni jempiring alit dan salikanta yang tidak mau minta penglukatanDewa Siwa. Karena itu, Dewa Siwa mengutuk kedua bunga tersebut tidak boleh dipakai sarana dalam pemujaan.
Pantangan yang dilatarbelakangi mitos juga berlaku untuk bunga turuk umung atau kedukduk. Mitologi tentang bunga ini termuat dalam lontar Siwagama. Diceritakan ”Dewi Uma melahirkan dua orang putra, seorang berupa raksasa dan seorang sangat tampan diberi nama Sang Kumara. Selesai melahirkan, kain dalam (tapih) yang penuh darah itu dicuci dalam telaga Rambawa dan dijemur di sebelahnya. Kain dalam itu direbut lalat dan tumbuh pohon bunga turuk umung atau kedukduk,Dewi Uma kemudian memastu bunga turuk umung atau kedukduk tidak boleh digunakan persembahan”. Secara logika kita bisa memahami bahwa,bunga yang direbut lalat tentu tidak harum baunya, karena kotor/tidak suci.
Bunga lainnya yang dikenal tidak patut digunakan untuk sarana banten yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti Yadnya  disebutkan bahwa: “bunga gemitir disebut-sebut berasal dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk persembahan. Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang warnanya merah tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara.” Selain itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit,”















BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
            Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam upacara yadnya, sarana berupa bunga yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau yadnya, Kalau kita perhatikan kaitannya dengan panca yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten/sesajen atau upacara yadnya. Dalam fungsinya sebagai sarana upacara yadnya maka bunga juga untuk sarana persembahyangan, sarana untuk memuja Hyang Widhi, sarana untuk menumbuhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara. Perlu diingat bahwa bunga mempunyai dua fungsi yang utama yaitu: Sebagai wujud atau simbol siwa atau Hyang Widhi atau Sang Hyang Puspa Danta, Sebagai sarana atau pemujaan.
Makna bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga yang baik digunakan sebgai persembahan adalah bunga yang segar, wangi, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak kering dan bukan hasil dari mencuri(tindakan criminal) atau bisa dikatakan bunga yang masih suci dan sama sekali belum pernah terpakai. Dalam kitab Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara suci. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa, inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan.



1 komentar:

  1. Om swas Bpk. Mhon ijin sharing.
    Apa tdk salah dlm kutipan Bgwd gt. Bab IX. 26. Kata phatam semestinya phalam (buah).
    Patram, puspam, phalam, toyam.
    Daun, bunga, buah dan air.
    Smg tdk salah. Suksma.

    BalasHapus

Hari Pertama UAS, Banyak Mahasiswa Belum Siap

Jakarta- Senin (2/7); Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta (STAH DNJ) sedang melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) hari per...