DARSANA
NYAYA
Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman
Sudiani, SE, S.Pd.H, M.Fil.H
Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita
1509.10.0039
(Penerangan Agama Hindu)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
HINDU
DHARMA NUSANTARA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencarian kebenaran atas realitas yang ada di dunia ini
merupakan sifat unik manusia. Mereka
selalu bertanya dan tentang sesuatu dan yang lainnya. Setiap saat dan fase kehidupan yang
dialaminya, manusia selalu bertanya. Pertanyaan
ini selalu ada di pikiran dan merupakan akar dari pengetahuan.
Pertanyaan manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak
sudah menjadi pembahasan dari sejak dulu. Siapakah saya? Siapakah kebenaran mutlak yang
tertinggi? Darimanakah asal
kehidupan? Apakah yang
terjadi dengan kematian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perdebatan
oleh para filsuf baik di Barat maupun di Timur.
Para filsuf di India membahas tentang rahasia
kehidupan tersebut dari sudut pandang Agama Hindu. Pembahasan tentang kebenaran mutlak
dalam filsafat Agama Hindu dalam Bahasa Sansekerta disebut dengan
Darsana.
Filsafat Hindu ada enam yang disebut
dengan Sad Darsana, yaitu (1) Nyaya Darsana, (2) Waisesika Darsana, (3) Sankhya
Darsana, (4) Yoga Darsana, (5) Mimamsa Darsana, dan (6) Wedanta Darsana.
1.2 Ruang Lingkup
Pembahasan Darsana dilakukan secara kelompok dengan
menyusun makalah dan presentasi. Penyusunan
makalah ini didasarkan pada beberapa sumber pustaka.
Dari enam Darsana, pembahasan akan
diperdalam mengenai Nyaya Darsana, yaitu Darsana yang pertama. Pembahsan meliputi sejarah,
pengertian, pokok-pokok ajaran dan implementasinya.
1.3 Tujuan
Makalah ini juga didiskusikan di kelas untuk memperdalam
pengetahuan mahasiswa mengenai Darsana, khususnya Nyaya Darsana. Diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan
Darsana, khususnya Nyaya Darsana pada Umat Hindu khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
BAB II
NYAYA DARSANA
2.1 Pengertian
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya
melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan.
Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat).
Darsana adalah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan
nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang
dicita-citakan.
Sedangkan Nyaya dapat diartikan sebagai kembali,
argument, penelitian dan analitis. Nyaya juga dapat diartikan sebagai suatu
pengujian kritis dari obyek pengetahuan dengan memakai kaidah-kaidah pembuktian
secara logika. Nyaya dikatakan sebagai filsafat hidup walaupun pada pokoknya
berhubungan dengan studi logika atau argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama
Nyaya adalah moksa.
Jadi Nyaya Darsana dapat diartikan sebagai suatu cara
memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Sistem filsafat ini secara
kritis berurusan dengan masalah-maslah metafisika dan mengandung diskusi
tentang psikologi, logika, metafisika, dan teologi.
Filsafat Nyaya Darsana menggunakan
cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek pengetahuan
amnusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Sehingga ajaran nyaya
Darsana dikenal juga ilmu logika dan nalar (Nyaya Vidya atau Tarka Sastra),
ilmu logika dan epistemology (Pramana Sastra), Ilmu penyebab (Hetu Vidya), ilmu
debat (Vada Vidya) dan ilmu studi kritis (Anviksiki).
Dalam ajaran nyaya menganalisis hakekat dan sumber
pengetahuan dan validitas dan non vaditas. Bukti dari pengertian diserahkan
kepada suatu pencarian yang kritis. Aliran ini memberikan uraian tentang
mekanisme pengetahuan secara rinci. System nyaya merupakan system pertama yang
meletakkan pondasi
yang kuat ilmu logika India .
2.2 Sejarah
Nyaya Darsana secara umum dikenal sebagai Tarka Vada atau
diskusi. Nyaya Darsana
mengandung ilmu diskusi dan debat. Nyaya darsana didirikan pada tahun 4 sebelum
masehi oleh Maha Rsi Gautama dan ditulis dalam system Nyaya Sutra. Sistem ini
dikenal juga dengan nama sistem filsafat Aksapada. Kemudian banyak filosof yang
memunculkan karya-karyaanya guna memperkuat posisi nyaya sekaligus memberi
komentar terhadap nyaya sutra.
Pada tahun 400 masehi sudah banyak nyaya yang telah
muncul, seperti misalnya Nyayabhasya yang didirikan oleh Vatsyayava, kemudian
Nyaya Langkara oleh Srikantha, Nyaya Manjari yang dirikan Jayanta, Nyaya
Bodhini yang dirikan oleh Govardhana dan Nyaya Kusumanjali oleh Vacaspati
Misra.
Pada abad ke 12 masehi di Bengali , India
Selatan, muncul aliran Nyaya baru yang bernama Navya Nyaya. Ajaran ini
dipelopori oleh Gangesa Misra. Namun jika dilakukan pendalaman mengenai ajaran
Navya Nyaya ini, maka lebih mengarah pada perombakan ajaran Vaishesika Darsana.
Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan
empat keadaan yakni Subyek (pramata), obyek (prameya), keadaan hasil dari
pengamatan (pramiti) dan pramana yang didalamnya terdapat penyimpulan. Dengan
melalui tahap tersebut ajaran nyaya yang tak terbantahkan dari berbagai
pengujian. Inilah yang menjadikan Nyaya Darsana masih bisa bertahan hingga
sekarang.
2.3 Pandangan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai
tujuan dari Darsana yakni pencapaian kebebasan. Walaupun demikian dari enam
darsana tidak selamanya memiliki pandangan yang sama. Seperti pandangan tentang
Brahman, Atman, Maya dan Moksa.
2.3.1 Brahman
Ajaran Nyaya Darsana hampir sama dengan ajaran Waisesika
Darsana sehingga kedua ajaran ini sering dihubungkan. Kedua ajaran ini
menjelaskan Tuhan dengan sangat rinci dan selalu dihubungkan dengan kelepasan.
Menurut Nyaya Darsana sesuatu terjadi karena ada penyebabnya. Nyaya meyakini
konseb sebab akibat. Sehingga mengkehendaki kehadiran Tuhan yaitu kekuatan yang
tak tampak oleh mata. Nyaya meyakini bahwa atom-atom sebagai penyebab material
tidak mampu menciptakan dunia ini tanpa adanya penyebab efisien yang
berkesadaran. Pada saat itulah diperlukan kehadiran Tuhan untuk memberikan
kekuatan pertam sehingga atom-atom bisa melakukan kombinasi-kombinasinya.
Nyaya memandang Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan
dalam menciptakan alam semesta ini memiliki suatu rencan dan tujuan tertentu,
sehingga dunia ini memiliki tata tertib tertentu yang bersifat universal. Tuhan
itu tunggal adanya memiliki sifat tak terbatas, kekal mengatasi waktu, ruang,
pikiran, jiva dan tidak terbatas. Tuhan dalam nyaya juga disebut sebagai Siva.
2.3.2 Atman
Tuhan adalah yang menciptakan, memelihara dan melenyabkan
alam semesta beserta isinya. Penciptaan alam semesta ini bersifat permanen yang
keberadaanya selalu dihubungkan dengan Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Menurut
Nyaya, atman dapat dibuktikan beberadaanya melalu pikiran dan tubuh. Atman
keberadaanya dapat dibandingkan dengan listrik. Aliranya tidak tampak tetapi
dapat dirasakan.
Atman ada dua macam yaitu jivatman
(rioh pribadi) dan Paramatman (roh universal). Menurut nyaya jivatman ada pada
diri semua manusia dan melibatkan diri dengan alam semesta dan menjadi
sengsara. Sedangkan paramatman adalah pengetahuan tertinggi atau jiva yang
telah mengetahui segalahnya (sarvajna).
Nyaya memandang atman sebagai materi,
sedangkan kesadaran adalah sifat dari atman tersebut. Atman adalah tempat
kediaman dari jnana atau kecerdasan, pengetahuan dan kemapuan untuk mengetahui.
Menurut nyaya semua panca indra dipengaruhi oleh jiva. Sehingga nyaya memandang
pikiran adalah alat dari jiva untuk berfikir. Jiva dipandang akan tetap abadi
selamanya walaupun badan, pikiran dan indra-indra lenyap. Ajaranya nyaya
memandang bahwa atman atau jiva perorangan maha tahu, berkepriabadian dan
sebagai yang menikmati.
2.3.3 Maya
Filsafat Nyaya ingin mencari pengetahuan yang benar
(moksa) mengenai dunia ini dan bagaimana hubungannya denga pikiran manusia
serta dirinya sendiri. Bila seseorang menguasai teknik logika dan penalaran dan
mampu menerapkan secara penuh dalam hidup sehari-hari maka ia akan dapat
melepaskan dirinya sediri dari segala bentuk penderitaan.
Menurut nyaya, bahwa dunia diluar manusia ini, terlepas
dari pikiran. Artinya bahwa dunia ini berdiri sendiri. Kita dapat memiliki
pengetahuan tentang dunia dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra. Demikian
halnya dengan pengetahuan suka dan duka yang dialami seseorang. Menurut nyaya
segala sesuatu yang diketahui ini semata-mata melalui perantara pikiran, baik
sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas, manusia dan dewa. Oleh karena itu,
system nyaya dapat disebut sebagai system yang realitas (nyata).
Nyaya menilai bahwa pengetahuan benar atau salah
tergantung alat apa yang dugunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Dimana setiap pengetahuan menyatakan 4 keadaan yaitu subyek (pramana), obyek
(yang diamati), pramiti (keadaan hasil dari pengamatan) dan cara untuk
mengamati (pramana) yang terdiri dari pratyaksa, anumana, upaman dan sabda
pramana.
2.3.4 Moksa
Pada umunya tujuan utama dari Darsana adalah moksa atau
pembebasan bagi setiap jiva individu dari ikatan duniawi. Nyaya juga mengatakan
bahwa tujuan utama dari kehidupan manusia adalah pembebasan. Untuk mencapai
tujuan tersebut seseorang haru memperoleh pengetahuan yang benar atau tattva
jnana, yaitu pengetahuan realitas sebagai realitas keseluruhan.
Fislsafat nyaya menekankan tiga tahap jalan memperoleh
tujuan pengetahuan pembebasan yakni srvana, manana dan nididhyasana. Srvana
adalah tahap dimana manusia haru mempelajari kitab suci dari orang-orang suci
atau rsi. Tahap kedua yakni manana yaitu proses perenungan ajaran yang didapat
dari para rsi, dan yang terakhir yakni nididhyasana yaitu tahap dimana seseorng
harus berkontenplasi tentang roh, mengkonfirmasikan pengetahuanya dan
mempraktekkan kebenaran didalam hidupnya.
Dengan mempraktekkan srvana, manana dan nididhyasana,
seseorang akan sadar akan hakekat dari roh yang sepenuhnya berbeda dengan
badan, pikiran, panca indra dan obyek lainya di dunia ini.
2.4 Pokok-pokok Ajaran
Nyaya Darsana merupakan ajaran yang mengedepakna mengenai
bagaimana hakikan Brahman bisa dibuktikan dengan ilmu logika. Nyaya menilai
segala sesuatu dapat dibuktikan secara logika atau rasional tergantung dari
alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti misalnya
dunia ini yang terbentuk dari unsur panca mahabuta yang terdiri dari unsur
atom-atom.
Teori penciptaan ini memiliki kesamaan dengan konsep
Waisesika. Dimana dikatakan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan dengan tujuan
yang telah direncanakan. Sehingga terdapat adanya hukum sebab akibat. Maka dari
itu, untuk memperoleh kebenaran tersebut sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok
pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu:
- Pramana
adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
- Prameya
adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek
dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
- Samsaya
atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti.
Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu
obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu
dengan jelas.
- Prayojana
yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan
kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
- Drstanta
atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran
yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi
untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
- Siddhanta
atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar.
Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa
Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda
dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
- Awaya
atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan.
Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat
diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
- Tarka
atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan
suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang
kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang
sebenarnya.
- Nirnaya
adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui
metode ilmiah pengetahuan yang sah.
- Wada
adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis
pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
- Jalpa
adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk
mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari
kebenaran.
- Witanda
adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan
posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh
lawan debatnya itu.
- Hetwabhasa
adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak
atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
- Chala
adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk
mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu
yang perlu dipertanyakan.
- Jati
adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang
salah.
- Nigrahasthana
adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia
ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka
sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup
tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar.
Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang
dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.
2.5.1 Epistemologi
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana)
agar pengetahuan awal (yang umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid.
Maka dibangunlah empat alat (catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana,
dan Sabdha, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi
Nyaya.
1. Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Pramana pertama adalah Pratyaksa.Pratyaksa adalah
pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita
(manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini
kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris. Pandangan seperti ini
belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada
filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada hubungan antara kita (manusia) dan
segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai
pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu.
Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang
diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya. Hubungan ini bukanlah
sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita
tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing.
Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam
itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan
dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan
yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang
sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan
ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa)
dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek
sambil lalu, itu adalahNirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek
tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada. Dan untuk sampai ke
pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya
dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut dan ini adalah
Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat mengetahui sebuah objek
misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya
ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa,
misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga
aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga pengetahuan yang bisa
keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu
memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat
lain atau di mana saja.
2. Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini
adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati
dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan
silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara
antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita
bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek;
kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan
bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya
yang empiris bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya.
Dari pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti
lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana)
menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan
bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat
gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita
saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung
menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap
pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak.
Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada api dan sebaliknya
adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut
Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
- Pratijna:
memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
- Hetu:
alasan penyimpulan
- Udaharana:
menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
- Upanaya:
pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
- Nigamana:
penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna,
2013)
3. Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara
analogiatau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan
(menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa
yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut
belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun,
penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang
dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin
banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya: Saya mengatakan kepada Si A bahwa X itu
berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah melihat langsung apa itu X, otomatis dia
tidak tahu. Selanjutnya saya harus memutar otak agar Si A tahu. Dalam situasi
buntu seperti ini, saya mengambil sebuah perumpamaan yang mirip dengan X
tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini sudah akrab di mata Si A, barulah dia
memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat sesuatu yang mirip dengan yang
pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa
inilah X, karena mirip dengan Z.
4. Sabda Pramana (Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau
kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang
sesuatu hal dan yang bisa dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang
bisa dipercaya kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai
sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai
sumber pengetahuan disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara
langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda
tersebut.
Contoh laukika (logika): Seseorang yang menderita sakit
percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena yang memberitahukannya
adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang yang dipercayai
kesaksiannya (laukika). Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya
seratus persen bilamana yang menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau
nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam
manusia. Begitu juga misalnya jika saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu
saya mesti menanyakannya kepada petani, bukan kepada dokter.
2.5.2 Aksiologi
Nyaya Darsana mengajarakan tentang pembebasan. Menurut
pandanga nyaya bahwa semua jiwa perorangan akan dapat mencapai pengetahuan yang
benar dan kelepasan bila Tuhan berkenan menganugrahinya. Maka dari itu, untuk
mendapatkan kebebasan muncul tiga cara yang dikemukan oleh nyaya yakni srvana,
manana dan nididhyasana. Seseorang yang memiliki pengetahuan tersebut akan
mendapatkan kebenaran yang dapat mengusir kegelapan dari identifikasi diri dan
kesalapahaman (mitya-jnana) menyangkut keakuan dan keengkauan.
Bila hal ini yang terjadi maka manusia menghapuskan
nafsunya dan dorongan hatinya serta mulai mewujudkan tugas-tugasnya sendiri
tanpa mempunyai keinginan untuk memetik buah dari perbuatanya. Api pengetahuan
tentang kebenaran membakar karma masa lalu seseorang seperi benih yang akan
menjadi seperti tidak besemai. Dengan demikian pengetahuan yang benar akan
membawah manusia kesiklus pembebasan atau moksa.
BAB III
KESIMPULAN
Sad Darsana adalah enam sarana pengajaran yang benar atau
6 cara pembuktian kebenaran. Adapun pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika,
Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Nyaya merupakan dasar dari Sad Darsana yang
mengandung Tarka-Vidya (ilmu perdebatan) dan Vada-Vidya (ilmu diskusi). Nyaya
bersumber dari Nyaya Sutra yang ditulis Rsi Gautama pada abad ke-4 kemudian
diulas oleh Rsi Vatsyayana yang berjudul Nyaya Bhasya (ulasan tentang Nyaya).
Filsafat Nyaya menegakkan keberadaan Isvara sehingga
dikenal sebagai alat utama untuk meyakini sesuatu objek dengan penyimpulan yang
tak dapat dihindari. Pandangan Filsafat Nyaya dapat memperoleh pengetahuan
dengan pikiran dan dibantu dengan indera. Filsafat Nyaya dikatakan benar atau
salah tergantung dari alat yang digunakan, yaitu: Pramata (subjek pengamatan),
Prameya (objek yang diamati), Pramiti (kedalaman hasil pengamatan), Pramana
(cara pengamatan).
DAFTAR PUSTAKA
Sudiani, Ni Nyoman, SE.,SPdH., M.Fil.H, Materi Ajar: Mata
Kuliah Darsana, STAH Dharma Nusantara, Jakarta ,
2013.
Donder, I Ketut, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta,
Paramita, Surabaya ,
2006.
Maswinara, I Wayan, Sistem Filsafat Hindu; Sarva Darsana
Samgraha, Paramita, Surabaya ,
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar