Sabtu, 09 Desember 2017

Nyaya Darsana

DARSANA
NYAYA
Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman Sudiani, SE, S.Pd.H, M.Fil.H




Description: C:\Users\toshiba\Documents\logo_stah_pasca_lokakarya.jpg
Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita    
  1509.10.0039     
   (Penerangan Agama Hindu)


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pencarian kebenaran atas realitas yang ada di dunia ini merupakan sifat unik manusia.  Mereka selalu bertanya dan tentang sesuatu dan yang lainnya.  Setiap saat dan fase kehidupan yang dialaminya, manusia selalu bertanya.  Pertanyaan ini selalu ada di pikiran dan merupakan akar dari pengetahuan.
Pertanyaan manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak sudah menjadi pembahasan dari sejak dulu.  Siapakah saya?  Siapakah kebenaran mutlak yang tertinggi?  Darimanakah asal kehidupan?  Apakah yang terjadi dengan kematian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perdebatan oleh para filsuf baik di Barat maupun di Timur. 
Para filsuf di India membahas tentang rahasia kehidupan tersebut dari sudut pandang Agama Hindu.  Pembahasan tentang kebenaran mutlak dalam filsafat Agama Hindu dalam Bahasa Sansekerta disebut dengan Darsana. 
            Filsafat Hindu ada enam yang disebut dengan Sad Darsana, yaitu (1) Nyaya Darsana, (2) Waisesika Darsana, (3) Sankhya Darsana, (4) Yoga Darsana, (5) Mimamsa Darsana, dan (6) Wedanta Darsana.

1.2  Ruang Lingkup
Pembahasan Darsana dilakukan secara kelompok dengan menyusun makalah dan presentasi.  Penyusunan makalah ini didasarkan pada beberapa sumber pustaka.
            Dari enam Darsana, pembahasan akan diperdalam mengenai Nyaya Darsana, yaitu Darsana yang pertama.  Pembahsan meliputi sejarah, pengertian, pokok-pokok ajaran dan implementasinya.

1.3  Tujuan
Makalah ini juga didiskusikan di kelas untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai Darsana, khususnya Nyaya Darsana.  Diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan Darsana, khususnya Nyaya Darsana pada Umat Hindu khususnya dan masyarakat pada umumnya.

BAB II
NYAYA DARSANA

2.1 Pengertian
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Darsana adalah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.
Sedangkan Nyaya dapat diartikan sebagai kembali, argument, penelitian dan analitis. Nyaya juga dapat diartikan sebagai suatu pengujian kritis dari obyek pengetahuan dengan memakai kaidah-kaidah pembuktian secara logika. Nyaya dikatakan sebagai filsafat hidup walaupun pada pokoknya berhubungan dengan studi logika atau argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama Nyaya adalah moksa.
Jadi Nyaya Darsana dapat diartikan sebagai suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Sistem filsafat ini secara kritis berurusan dengan masalah-maslah metafisika dan mengandung diskusi tentang psikologi, logika, metafisika, dan teologi.
            Filsafat Nyaya Darsana menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek pengetahuan amnusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Sehingga ajaran nyaya Darsana dikenal juga ilmu logika dan nalar (Nyaya Vidya atau Tarka Sastra), ilmu logika dan epistemology (Pramana Sastra), Ilmu penyebab (Hetu Vidya), ilmu debat (Vada Vidya) dan ilmu studi kritis (Anviksiki).
Dalam ajaran nyaya menganalisis hakekat dan sumber pengetahuan dan validitas dan non vaditas. Bukti dari pengertian diserahkan kepada suatu pencarian yang kritis. Aliran ini memberikan uraian tentang mekanisme pengetahuan secara rinci. System nyaya merupakan system pertama yang meletakkan pondasi yang kuat ilmu logika India.

2.2 Sejarah
Nyaya Darsana secara umum dikenal sebagai Tarka Vada atau diskusi.  Nyaya Darsana mengandung ilmu diskusi dan debat. Nyaya darsana didirikan pada tahun 4 sebelum masehi oleh Maha Rsi Gautama dan ditulis dalam system Nyaya Sutra. Sistem ini dikenal juga dengan nama sistem filsafat Aksapada. Kemudian banyak filosof yang memunculkan karya-karyaanya guna memperkuat posisi nyaya sekaligus memberi komentar terhadap nyaya sutra.
Pada tahun 400 masehi sudah banyak nyaya yang telah muncul, seperti misalnya Nyayabhasya yang didirikan oleh Vatsyayava, kemudian Nyaya Langkara oleh Srikantha, Nyaya Manjari yang dirikan Jayanta, Nyaya Bodhini yang dirikan oleh Govardhana dan Nyaya Kusumanjali oleh Vacaspati Misra.
Pada abad ke 12 masehi di Bengali, India Selatan, muncul aliran Nyaya baru yang bernama Navya Nyaya. Ajaran ini dipelopori oleh Gangesa Misra. Namun jika dilakukan pendalaman mengenai ajaran Navya Nyaya ini, maka lebih mengarah pada perombakan ajaran Vaishesika Darsana.
Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan empat keadaan yakni Subyek (pramata), obyek (prameya), keadaan hasil dari pengamatan (pramiti) dan pramana yang didalamnya terdapat penyimpulan. Dengan melalui tahap tersebut ajaran nyaya yang tak terbantahkan dari berbagai pengujian. Inilah yang menjadikan Nyaya Darsana masih bisa bertahan hingga sekarang.

2.3 Pandangan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai tujuan dari Darsana yakni pencapaian kebebasan. Walaupun demikian dari enam darsana tidak selamanya memiliki pandangan yang sama. Seperti pandangan tentang Brahman, Atman, Maya dan Moksa.

2.3.1 Brahman
Ajaran Nyaya Darsana hampir sama dengan ajaran Waisesika Darsana sehingga kedua ajaran ini sering dihubungkan. Kedua ajaran ini menjelaskan Tuhan dengan sangat rinci dan selalu dihubungkan dengan kelepasan. Menurut Nyaya Darsana sesuatu terjadi karena ada penyebabnya. Nyaya meyakini konseb sebab akibat. Sehingga mengkehendaki kehadiran Tuhan yaitu kekuatan yang tak tampak oleh mata. Nyaya meyakini bahwa atom-atom sebagai penyebab material tidak mampu menciptakan dunia ini tanpa adanya penyebab efisien yang berkesadaran. Pada saat itulah diperlukan kehadiran Tuhan untuk memberikan kekuatan pertam sehingga atom-atom bisa melakukan kombinasi-kombinasinya.
Nyaya memandang Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini memiliki suatu rencan dan tujuan tertentu, sehingga dunia ini memiliki tata tertib tertentu yang bersifat universal. Tuhan itu tunggal adanya memiliki sifat tak terbatas, kekal mengatasi waktu, ruang, pikiran, jiva dan tidak terbatas. Tuhan dalam nyaya juga disebut sebagai Siva.

2.3.2 Atman
Tuhan adalah yang menciptakan, memelihara dan melenyabkan alam semesta beserta isinya. Penciptaan alam semesta ini bersifat permanen yang keberadaanya selalu dihubungkan dengan Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Menurut Nyaya, atman dapat dibuktikan beberadaanya melalu pikiran dan tubuh. Atman keberadaanya dapat dibandingkan dengan listrik. Aliranya tidak tampak tetapi dapat dirasakan.
            Atman ada dua macam yaitu jivatman (rioh pribadi) dan Paramatman (roh universal). Menurut nyaya jivatman ada pada diri semua manusia dan melibatkan diri dengan alam semesta dan menjadi sengsara. Sedangkan paramatman adalah pengetahuan tertinggi atau jiva yang telah mengetahui segalahnya (sarvajna).
            Nyaya memandang atman sebagai materi, sedangkan kesadaran adalah sifat dari atman tersebut. Atman adalah tempat kediaman dari jnana atau kecerdasan, pengetahuan dan kemapuan untuk mengetahui. Menurut nyaya semua panca indra dipengaruhi oleh jiva. Sehingga nyaya memandang pikiran adalah alat dari jiva untuk berfikir. Jiva dipandang akan tetap abadi selamanya walaupun badan, pikiran dan indra-indra lenyap. Ajaranya nyaya memandang bahwa atman atau jiva perorangan maha tahu, berkepriabadian dan sebagai yang menikmati.

2.3.3 Maya
Filsafat Nyaya ingin mencari pengetahuan yang benar (moksa) mengenai dunia ini dan bagaimana hubungannya denga pikiran manusia serta dirinya sendiri. Bila seseorang menguasai teknik logika dan penalaran dan mampu menerapkan secara penuh dalam hidup sehari-hari maka ia akan dapat melepaskan dirinya sediri dari segala bentuk penderitaan.
Menurut nyaya, bahwa dunia diluar manusia ini, terlepas dari pikiran. Artinya bahwa dunia ini berdiri sendiri. Kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra. Demikian halnya dengan pengetahuan suka dan duka yang dialami seseorang. Menurut nyaya segala sesuatu yang diketahui ini semata-mata melalui perantara pikiran, baik sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas, manusia dan dewa. Oleh karena itu, system nyaya dapat disebut sebagai system yang realitas (nyata).
Nyaya menilai bahwa pengetahuan benar atau salah tergantung alat apa yang dugunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Dimana setiap pengetahuan menyatakan 4 keadaan yaitu subyek (pramana), obyek (yang diamati), pramiti (keadaan hasil dari pengamatan) dan cara untuk mengamati (pramana) yang terdiri dari pratyaksa, anumana, upaman dan sabda pramana.

2.3.4 Moksa
Pada umunya tujuan utama dari Darsana adalah moksa atau pembebasan bagi setiap jiva individu dari ikatan duniawi. Nyaya juga mengatakan bahwa tujuan utama dari kehidupan manusia adalah pembebasan. Untuk mencapai tujuan tersebut seseorang haru memperoleh pengetahuan yang benar atau tattva jnana, yaitu pengetahuan realitas sebagai realitas keseluruhan.
Fislsafat nyaya menekankan tiga tahap jalan memperoleh tujuan pengetahuan pembebasan yakni srvana, manana dan nididhyasana. Srvana adalah tahap dimana manusia haru mempelajari kitab suci dari orang-orang suci atau rsi. Tahap kedua yakni manana yaitu proses perenungan ajaran yang didapat dari para rsi, dan yang terakhir yakni nididhyasana yaitu tahap dimana seseorng harus berkontenplasi tentang roh, mengkonfirmasikan pengetahuanya dan mempraktekkan kebenaran didalam hidupnya.
Dengan mempraktekkan srvana, manana dan nididhyasana, seseorang akan sadar akan hakekat dari roh yang sepenuhnya berbeda dengan badan, pikiran, panca indra dan obyek lainya di dunia ini.

2.4 Pokok-pokok Ajaran
Nyaya Darsana merupakan ajaran yang mengedepakna mengenai bagaimana hakikan Brahman bisa dibuktikan dengan ilmu logika. Nyaya menilai segala sesuatu dapat dibuktikan secara logika atau rasional tergantung dari alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti misalnya dunia ini yang terbentuk dari unsur panca mahabuta yang terdiri dari unsur atom-atom.
Teori penciptaan ini memiliki kesamaan dengan konsep Waisesika. Dimana dikatakan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan dengan tujuan yang telah direncanakan. Sehingga terdapat adanya hukum sebab akibat. Maka dari itu, untuk memperoleh kebenaran tersebut sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu:
  1. Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
  2. Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
  3. Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
  4. Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
  5. Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
  6. Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
  7. Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
  8. Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
  9. Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
  10. Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
  11. Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
  12. Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
  13. Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
  14. Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
  15. Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
  16. Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.

2.5.1 Epistemologi
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana) agar pengetahuan awal (yang umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi Nyaya.

1. Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Pramana pertama adalah Pratyaksa.Pratyaksa adalah pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris. Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada hubungan antara kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya. Hubungan ini bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu adalahNirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada. Dan untuk sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa, misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga pengetahuan yang bisa keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat lain atau di mana saja.

2. Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya yang empiris bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya. Dari pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak. Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
  1. Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
  2. Hetu: alasan penyimpulan
  3. Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
  4. Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
  5. Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna, 2013)

3. Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogiatau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan (menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun, penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya: Saya mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus memutar otak agar Si A tahu. Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z.

4. Sabda Pramana (Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika (logika): Seseorang yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang yang dipercayai kesaksiannya (laukika). Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam manusia. Begitu juga misalnya jika saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada petani, bukan kepada dokter.

2.5.2 Aksiologi
Nyaya Darsana mengajarakan tentang pembebasan. Menurut pandanga nyaya bahwa semua jiwa perorangan akan dapat mencapai pengetahuan yang benar dan kelepasan bila Tuhan berkenan menganugrahinya. Maka dari itu, untuk mendapatkan kebebasan muncul tiga cara yang dikemukan oleh nyaya yakni srvana, manana dan nididhyasana. Seseorang yang memiliki pengetahuan tersebut akan mendapatkan kebenaran yang dapat mengusir kegelapan dari identifikasi diri dan kesalapahaman (mitya-jnana) menyangkut keakuan dan keengkauan.
Bila hal ini yang terjadi maka manusia menghapuskan nafsunya dan dorongan hatinya serta mulai mewujudkan tugas-tugasnya sendiri tanpa mempunyai keinginan untuk memetik buah dari perbuatanya. Api pengetahuan tentang kebenaran membakar karma masa lalu seseorang seperi benih yang akan menjadi seperti tidak besemai. Dengan demikian pengetahuan yang benar akan membawah manusia kesiklus pembebasan atau moksa.

BAB III
 KESIMPULAN
Sad Darsana adalah enam sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Nyaya merupakan dasar dari Sad Darsana yang mengandung Tarka-Vidya (ilmu perdebatan) dan Vada-Vidya (ilmu diskusi). Nyaya bersumber dari Nyaya Sutra yang ditulis Rsi Gautama pada abad ke-4 kemudian diulas oleh Rsi Vatsyayana yang berjudul Nyaya Bhasya (ulasan tentang Nyaya).
Filsafat Nyaya menegakkan keberadaan Isvara sehingga dikenal sebagai alat utama untuk meyakini sesuatu objek dengan penyimpulan yang tak dapat dihindari. Pandangan Filsafat Nyaya dapat memperoleh pengetahuan dengan pikiran dan dibantu dengan indera. Filsafat Nyaya dikatakan benar atau salah tergantung dari alat yang digunakan, yaitu: Pramata (subjek pengamatan), Prameya (objek yang diamati), Pramiti (kedalaman hasil pengamatan), Pramana (cara pengamatan).

DAFTAR PUSTAKA
Sudiani, Ni Nyoman, SE.,SPdH., M.Fil.H, Materi Ajar: Mata Kuliah Darsana, STAH Dharma Nusantara, Jakarta, 2013.
Donder, I Ketut, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta, Paramita, Surabaya, 2006.
Maswinara, I Wayan, Sistem Filsafat Hindu; Sarva Darsana Samgraha, Paramita, Surabaya, 2006.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hari Pertama UAS, Banyak Mahasiswa Belum Siap

Jakarta- Senin (2/7); Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta (STAH DNJ) sedang melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) hari per...