Sabtu, 09 Desember 2017

Kepemimpinan Hindu (UAS)

KEPEMIMPINAN HINDU
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERASI MUDA HINDU DI WILAYAH KAB. PRINGSEWU


Dosen Pengampu :
Prof.Dr.I Made Kartika Diputra Dipl-ing






Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita
1509.10.0038
Penerangan Agama Hindu






 BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang besar ini tidak terlepas dari pengaruh dan warisan dari para leluhur-leluhur yang dengan gigih menyatukan gugusan-gugusan  pulau di Nusantara. Perkembangan dan ajegnya keberadaan Nusantara tidak terlepas dari ajegnya ajaran dharma yaitu Hindu. Hindu dapat berkembang di nusantara sejak masa karajaan-kerajaan di Siwa-Budha dan sampai saat ini masih ajeg berkembang dan bertahan di Indonesia. Hindu adalah sanathana dharma, oleh sebab itu walaupun sempat mengalami kemundura, setelah runtuhnya kejayaan Majapahit, berlandaskan dharma umat Hindu tetap ajeg sampai saat ini.
Keberadaan Hindu tidak terlepas dari umat dan generasi penerusnya saat ini, Hindu dapat berkembang diseluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke daerah-daerah terpencil dapat kita temukan keberadaan umat Hindu walaupun dalam jumlah yang kecil. Hindu di Indonesia sering disebut sebagai kelompok minorotas karena memang secara kuantitas saat ini jumlah umat Hindu lebih sedikit. Ada beberapa penyebab yang menjadikan kuantitas umat Hindu semakin menurun, diantaranya: lemahnya sraddha dan bhakti, banyak terjadi pindah agama, rendahnya tingkat pendidikan, permasalahan ekonomi, belum berfungsinya lembaga ataupun organisasi bernafas Hindu secara maksimal, dll. Permasalahan tersebut kemudian menjadi kompleks karena umat Hindu belum mau berusaha keras untuk memperbaikinya satu persatu khususnya terhadap generasi muda.
Generasi muda semestinya memiliki sikap yang kuat dalam menghadapi kenyataan, memahami nilai-nilai budaya bangsa, bersedia berkompetisi untuk knowledge based society dan memiliki kepribadian yang pasti. Intinya ialah generasi muda yang mampu memelihara harmonisasi kehidupan dan mampu menjadi manusia berakhlak yang berpegang teguh pada norma mulia dan patuh serta taat beragama. Sebagai harapan bangsa, para pemuda Indonesia harus selalu melatih kepemimpinan dalam dirinya. Selalu senantiasa meningkatkan jiwa kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang bijaksana adalah tidak hanya sekedar menduduki singgsana namun tetap konsisten untuk memperhatikan nasib rakyat. Sebuah perubahan seharusnya tidak menunggu banyak orang untuk berubah. Generasi muda yang berkualitas akan bergerak dengan sendirinya beserta kalangan pemuda yang teguh komitmen untuk merintis perubahan demi kejayaan Bangsa.
Kondisi umat Hindu di Jawa, Bali dan Sumatra khususnya bagi generasi mudanya mengalami krisis panutan. Menurut Sugiyono, sudah banyak tradisi keagamaan Hindu ynag sudah bergeser dari konsep dasarnya dalam kurun waktu yang cukup lama.Umat Hindu tidak mendapat pembinaan agama yang bersistem dan kontinyu. Pembinaan yang selama ini diberikan sangat tradisional yang hanya berupa ritual saja. Pembinaan pendidikan dan praktek keagamaan menekankan kepada ritual upacara semata, hal ini mengakibatnya banyak generasi muda yang enggan untuk mengikutinya.
Seperti halnya di daerah kabupaten Pringsewu, provinsi Lampung yang masyarakat didalamnya dominan suku Jawa. Awalnya umat Hindu di Pringsewu bisa dibilang sangat banyak, namun seiring berjalan waktu kini umat Hindu hanya tinggal sedikit, semua itu terjadi karena banyak umat yang melakukan konversi agama. Lemahnya pengetahuan umat Hindu tentang agama serta rendahnya ekonomi masyarakat membuat mereka lebih memilih meninggalkan agama Hindu untuk berpindah ke agama lain. Dengan adanya masalah tersebut, dalam paper ini akan mengkaji “Upaya Meningkatkan Kemampuan Generasi Muda Hindu Untuk Mencegah Terjadinya Konversi Agama di Wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung”, karena mengingat pentingnya pendidikan yang harus dicapai oleh generasi muda Hindu, supaya tidak akan banyak lagi umat yang melakukan konversi agama.

1.2              Rumusan Masalah
1.2.1    Bagaimana meningkatkan kemampuan generasi muda Hindu supaya tidak terjadi konversi agama di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung ?
1.3              Tujuan
1.3.1    Mengetahui upaya meningkatkan kemampuan generasi muda Hindu agar tidak terjadi konversi di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Keadaan Masyarakat Hindu Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu dari 15 daerah otonom kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Kabupaten Pringsewu yang beribukota di kota Pringsewu, berjarak 38 km dari ibukota Provinsi Lampung, Bandar Lampung, mempunyai luas wilayah 625 km2, berpenduduk kurang lebih 475.353 jiwa .
Kabupaten Pringsewu terdiri dari 131 desa/kelurahan, yang tersebar di 9 kecamatan, yakni masing-masing Kecamatan Pringsewu, Pagelaran, Pagelaran Utara, Pardasuka, Gadingrejo, Sukoharjo, Ambarawa, Adiluwih, dan Kecamatan Banyumas.Kabupaten Pringsewu berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pesawaran, di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.
Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Pringsewu lebih dominan suku Jawa, meskipun tidak hanya suku Jawa saya melainkan juga terdiri dari suku Lampung, Sunda dan Bali. Sedangkan saat ini umat Hindu yang ada di Pringsewu berjumlah sekitar 714 KK atau jika dihitung jiwa sekitar 2.285 Jiwa. Saat ini umat Hindu paling banyak berada di Kecamatah Sukoharjo dengan jumlah umat sekitar 204 KK setara dengan 659 Jiwa. Data tersebut diperoleh dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Pringsewu. Dan saat ini, pemuda Hindu yang ada di Kabupaten Pringsewu juga cukup lumayan banyak, sekitar 528 Jiwa.
Umat Hindu di Kabupaten Pringsewu sangat jarang sekali yang bekerja sebagai seorang PNS, melaikan selama ini mereka hanya menjadi seorang buruh tani ataupun kuli bangunan serta sebagai pedagang untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi perokonomian umat Hindu disana bisa dibilang sangat rendah, karena itu banyak dari mereka yang memilih mekukan konversi agama dengan menikah bersama umat lain hanya karena orang tersebut dapat mengangkat drajatnya untuk tidak lagi menjadi seorang buruh.


2.2       Faktor Penyebap Terjadinya Konversi Agama di Wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Saat ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan banyak umat Hindu yang melakukan konversi agama dengan berbagai macam alasan, berikut adalah factor-faktor penyebab terjadinya konversi agama di wiliyah Kabupaten Pringsewu :
2.2.1        Faktor Pendidikan
Salah satu alasan umat Hindu melakukan konversi agama dikarenakan lemahnya pengetahuan tentang agama oleh umat tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya kepedulian pemerintah tentang fasilitas untuk pasraman-pasraman di wilayah Kabupaten Pringsewu. Selama ini Pasraman dilakukan didalam Pura, karena belum memiliki gedung untuk dijadikan tempat pasraman. Semua itu menyebabkan kurangnya minat belajar siswa untuk melakukan pasraman. Serta banyaknya siswa yang memilih mengikuti belajar agama lain saat di berada disekolah mereka masing-masing. Karena sampai saat ini bisa dibilang msih banyak sekalo sekolah-sekolah di kabupaten Pringsewu yang tidak memiliki Guru Agama Hindu. Sehingga tidak heran jika banyak anak yang hanya menyelesaikan sekolahnya sampai SMP bahkan hanya sampai SD. Mereka tidak mau lanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) karena menurut mereka bekerja membantu orang tua jauh lebih penting dibandingkan harus lanjut ke sekolh yang membutuhkan biaya yang sangat banyak.
2.2.2        Faktor Ekonomi
Banyaknya umat hindu yang hanya bekerja sebagai seorang buruh tani, kuli bangunan, serta pedagang, menjadi salah satu alasan umat Hindu melakukan konversi agama. banyaknya generasi muda Hindu yang hanya menyelesaikan pendidikannya di tingkat SD dan SMP membuat mereka semua mengikuti jejak orang tuanya yaitu menjadi seorang buruh. Sedangkan para remaja Putri memilih untuk menikah diusia dini dan menikah dengan pasangan yang beda agama namun berkecukupan, dikarenakan mereka tidak ingin membuat orang tuanya merasa terbebani sertamereka tidak mau hidup miskin seperti orang tua mereka. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya konversi agama yang dilakukan oleh umat Hindu diwilayah Kabupaten Pringsewu. Karena saat ada pemuda yang ingin melanjutkan sekolahnya mereka memilih bekerja setelah mengingat bahwa kedua orang tuanya tidak akan sanggup membiayai sekolahnya, sedangkan mereka yang tidak mau hidup susah lebih memilih menikah dengan orang kaya yang memiliki perbedaan agama, mereka rela berpindah agama hanya karena ingin mengangkat drajat hidupnya.
2.2.3        Faktor Sosial
Penyebab terjadinya konversi agama selanjutnya yaitu faktor social, hal ini terjadi karena selama ini umat Hindu di Kabupaten Pringsewu selalu merasa terisolir dengan umat lain. Selain itu, selama ini ketika pemerintah memberikan bantuan baik berupa uang ataupun tunjangan kesehatan dan pendidikan, umat Hindu selalu menjadi urutan terakhir dibandingkan dengan agama mayoritas. Dan semua ini membuat umat Hindu yang merasa hidupnya sangat susah dan membutuhkan tunjangan tersebut memilih pindah agama. Banyak umat Hindu yang tergiur dengan rayuan-rayuan dari agama mayoritas untuk pindah agama, hanya karena mereka tidak ingin dikucilkan.

2.3       Upaya Meningkatkan Kemampuan Generasi Muda Hindu Supaya Tidak Terjadi Konversi di Wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung
Mengingat generasi muda Hindu adalah salah satu target utama yang mudah untuk dikonversi keagama lain, maka harus ada upaya untuk meningkatkan kemampuan generasi muda Hindu di wilayah Kabupaten Pringsewu. Berikut adalah upaya meningkatkan kemampuan generasi muda Hindu untuk mencegah terjadinya konversi agama di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung :
2.3.1        Memberikan Fasitas Pendidikan
Saat ini kurangnya pengetahuan tentang agama Hindu menjadi penyebab para generasi muda Hindu dengan mudah melakukan konversi agama, oleh sebab itu pemberian materi tentang agama Hindu seharusnya di terapka diseluruh sekolah sekolah yang memiliki siswa yang beragama Hindu di wilayah Kabupaten Pringsewu. Selain itu mengubah pola pembelajaran yang dilakukan di pasraman dimana sebaiknya para mahasiswa Hindu bisa turun secara langsung untuk mengajar dengan metode-metode masa kini yang bisa membuat minat siswa tersebut mau untuk pergi kepasraman. Dan kepada pemerintah daerah seharusnya memberikan bantuan berupa gedung di setiap Pura Kecamatan untuk dijadikan sebagai gedung Pasraman. Dengan memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama Hindu pasti generasi muda Hindu tidak akan mudah tergiurdengan rayuan-rayuan umat mayoritas untuk berpindah agama, dan apabila semua itu benar terjadi maka tidak menutup kemungkin generasi muda Hindu di wilayah Kabupaten Pringsewu akan mampu bersaing dengan pemuda umat lainnya.
2.3.2        Mengadakan Program Beasiswa
Meningat bahwa banyak generasi muda Hindu yang tidak dapat melanjutkan pendidikan dikarenakan tidak memiliki biaya, maka memberikan beasiswa kepada siswa Hindu merupakan cara yang baik untuk mengajak generasi muda Hindu menyelesaikan pendidikannya sampai ke Perguruan Tinggi. Semakin tinggi pendidikan yang mereka lakukan, maka pola pikir mereka akan berubah dan dari situ generasi muda Hindu tidak akan melakukan konversi agama.
2.3.3        Memberikan Penyuluhan Tentang Agama Hindu
Kurangnya pemahaman tentang agama Hindu membuat banyak umat yang melakukan konversi agama, sehingga keberadan penyuluh sangatlah penting. Dengan mengadakan sosialisasi tentang agama, seperti mengajak para umat terutama pemuda Hindu dengan cara melakukan perjalanan spiritual, membuat ajang minat bakat pemuda, serta kegiatan lainnya yang dapat menarik minat para pemuda Hindu.
2.3.4        Mengajak Generasi Muda Hindu Bergoganisai
Organisasi merupakan salah stu carayang ampuh untuk menjadi wadah berkreasi bagi para pemuda. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa umat Hindu memiliki wdah untuk pemuda Hindu, seperti PERADAH, KMHDI serta masih banyak lagi. Mengajak pemuda Hindu melakukan organisasi membuat mereka menjadi memiliki banyak pengalaman tentang agama serta membuat mereka menjadi pemuda yang kreatif, aktif sertakritis dalam menghadi permasalah yang ada. Selain itu, dengan berorganisasi mereka juga bisa membantu memberikan pengetahuan tentang agama untuk orang tua mereka.
BAB III
PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu dari 15 daerah otonom kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Kabupaten Pringsewu yang beribukota di kota Pringsewu, Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Pringsewu lebih dominan suku Jawa, meskipun tidak hanya suku Jawa saya melainkan juga terdiri dari suku Lampung, Sunda dan Bali. Sedangkan saat ini umat Hindu yang ada di Pringsewu berjumlah sekitar 714 KK atau jika dihitung jiwa sekitar 2.285 Jiwa. Saat ini umat Hindu paling banyak berada di Kecamatah Sukoharjo dengan jumlah umat sekitar 204 KK setara dengan 659 Jiwa. Data tersebut diperoleh dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Pringsewu. Dan saat ini, pemuda Hindu yang ada di Kabupaten Pringsewu juga cukup lumayan banyak, sekitar 528 Jiwa.
Faktor penyebap terjadinya konversi agama di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung yaitu faktor pendidikan, faktor ekonomi sertafaktor social. Upaya meningkatkan kemampuan generasi muda Hindu supaya tidak terjadi konversi di wilayah Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung.

Nyaya Darsana

DARSANA
NYAYA
Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman Sudiani, SE, S.Pd.H, M.Fil.H




Description: C:\Users\toshiba\Documents\logo_stah_pasca_lokakarya.jpg
Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita    
  1509.10.0039     
   (Penerangan Agama Hindu)


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pencarian kebenaran atas realitas yang ada di dunia ini merupakan sifat unik manusia.  Mereka selalu bertanya dan tentang sesuatu dan yang lainnya.  Setiap saat dan fase kehidupan yang dialaminya, manusia selalu bertanya.  Pertanyaan ini selalu ada di pikiran dan merupakan akar dari pengetahuan.
Pertanyaan manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak sudah menjadi pembahasan dari sejak dulu.  Siapakah saya?  Siapakah kebenaran mutlak yang tertinggi?  Darimanakah asal kehidupan?  Apakah yang terjadi dengan kematian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi perdebatan oleh para filsuf baik di Barat maupun di Timur. 
Para filsuf di India membahas tentang rahasia kehidupan tersebut dari sudut pandang Agama Hindu.  Pembahasan tentang kebenaran mutlak dalam filsafat Agama Hindu dalam Bahasa Sansekerta disebut dengan Darsana. 
            Filsafat Hindu ada enam yang disebut dengan Sad Darsana, yaitu (1) Nyaya Darsana, (2) Waisesika Darsana, (3) Sankhya Darsana, (4) Yoga Darsana, (5) Mimamsa Darsana, dan (6) Wedanta Darsana.

1.2  Ruang Lingkup
Pembahasan Darsana dilakukan secara kelompok dengan menyusun makalah dan presentasi.  Penyusunan makalah ini didasarkan pada beberapa sumber pustaka.
            Dari enam Darsana, pembahasan akan diperdalam mengenai Nyaya Darsana, yaitu Darsana yang pertama.  Pembahsan meliputi sejarah, pengertian, pokok-pokok ajaran dan implementasinya.

1.3  Tujuan
Makalah ini juga didiskusikan di kelas untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai Darsana, khususnya Nyaya Darsana.  Diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan Darsana, khususnya Nyaya Darsana pada Umat Hindu khususnya dan masyarakat pada umumnya.

BAB II
NYAYA DARSANA

2.1 Pengertian
Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Darsana adalah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.
Sedangkan Nyaya dapat diartikan sebagai kembali, argument, penelitian dan analitis. Nyaya juga dapat diartikan sebagai suatu pengujian kritis dari obyek pengetahuan dengan memakai kaidah-kaidah pembuktian secara logika. Nyaya dikatakan sebagai filsafat hidup walaupun pada pokoknya berhubungan dengan studi logika atau argument. Hal ini dikarenakan tujuan utama Nyaya adalah moksa.
Jadi Nyaya Darsana dapat diartikan sebagai suatu cara memperoleh kebenaran (Brahman) melalui logika. Sistem filsafat ini secara kritis berurusan dengan masalah-maslah metafisika dan mengandung diskusi tentang psikologi, logika, metafisika, dan teologi.
            Filsafat Nyaya Darsana menggunakan cara pencarian filosofis yang benar dalam semua obyek dan subyek pengetahuan amnusia termasuk dalam penalaran dan aturan pemikiran. Sehingga ajaran nyaya Darsana dikenal juga ilmu logika dan nalar (Nyaya Vidya atau Tarka Sastra), ilmu logika dan epistemology (Pramana Sastra), Ilmu penyebab (Hetu Vidya), ilmu debat (Vada Vidya) dan ilmu studi kritis (Anviksiki).
Dalam ajaran nyaya menganalisis hakekat dan sumber pengetahuan dan validitas dan non vaditas. Bukti dari pengertian diserahkan kepada suatu pencarian yang kritis. Aliran ini memberikan uraian tentang mekanisme pengetahuan secara rinci. System nyaya merupakan system pertama yang meletakkan pondasi yang kuat ilmu logika India.

2.2 Sejarah
Nyaya Darsana secara umum dikenal sebagai Tarka Vada atau diskusi.  Nyaya Darsana mengandung ilmu diskusi dan debat. Nyaya darsana didirikan pada tahun 4 sebelum masehi oleh Maha Rsi Gautama dan ditulis dalam system Nyaya Sutra. Sistem ini dikenal juga dengan nama sistem filsafat Aksapada. Kemudian banyak filosof yang memunculkan karya-karyaanya guna memperkuat posisi nyaya sekaligus memberi komentar terhadap nyaya sutra.
Pada tahun 400 masehi sudah banyak nyaya yang telah muncul, seperti misalnya Nyayabhasya yang didirikan oleh Vatsyayava, kemudian Nyaya Langkara oleh Srikantha, Nyaya Manjari yang dirikan Jayanta, Nyaya Bodhini yang dirikan oleh Govardhana dan Nyaya Kusumanjali oleh Vacaspati Misra.
Pada abad ke 12 masehi di Bengali, India Selatan, muncul aliran Nyaya baru yang bernama Navya Nyaya. Ajaran ini dipelopori oleh Gangesa Misra. Namun jika dilakukan pendalaman mengenai ajaran Navya Nyaya ini, maka lebih mengarah pada perombakan ajaran Vaishesika Darsana.
Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan empat keadaan yakni Subyek (pramata), obyek (prameya), keadaan hasil dari pengamatan (pramiti) dan pramana yang didalamnya terdapat penyimpulan. Dengan melalui tahap tersebut ajaran nyaya yang tak terbantahkan dari berbagai pengujian. Inilah yang menjadikan Nyaya Darsana masih bisa bertahan hingga sekarang.

2.3 Pandangan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai tujuan dari Darsana yakni pencapaian kebebasan. Walaupun demikian dari enam darsana tidak selamanya memiliki pandangan yang sama. Seperti pandangan tentang Brahman, Atman, Maya dan Moksa.

2.3.1 Brahman
Ajaran Nyaya Darsana hampir sama dengan ajaran Waisesika Darsana sehingga kedua ajaran ini sering dihubungkan. Kedua ajaran ini menjelaskan Tuhan dengan sangat rinci dan selalu dihubungkan dengan kelepasan. Menurut Nyaya Darsana sesuatu terjadi karena ada penyebabnya. Nyaya meyakini konseb sebab akibat. Sehingga mengkehendaki kehadiran Tuhan yaitu kekuatan yang tak tampak oleh mata. Nyaya meyakini bahwa atom-atom sebagai penyebab material tidak mampu menciptakan dunia ini tanpa adanya penyebab efisien yang berkesadaran. Pada saat itulah diperlukan kehadiran Tuhan untuk memberikan kekuatan pertam sehingga atom-atom bisa melakukan kombinasi-kombinasinya.
Nyaya memandang Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini memiliki suatu rencan dan tujuan tertentu, sehingga dunia ini memiliki tata tertib tertentu yang bersifat universal. Tuhan itu tunggal adanya memiliki sifat tak terbatas, kekal mengatasi waktu, ruang, pikiran, jiva dan tidak terbatas. Tuhan dalam nyaya juga disebut sebagai Siva.

2.3.2 Atman
Tuhan adalah yang menciptakan, memelihara dan melenyabkan alam semesta beserta isinya. Penciptaan alam semesta ini bersifat permanen yang keberadaanya selalu dihubungkan dengan Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Menurut Nyaya, atman dapat dibuktikan beberadaanya melalu pikiran dan tubuh. Atman keberadaanya dapat dibandingkan dengan listrik. Aliranya tidak tampak tetapi dapat dirasakan.
            Atman ada dua macam yaitu jivatman (rioh pribadi) dan Paramatman (roh universal). Menurut nyaya jivatman ada pada diri semua manusia dan melibatkan diri dengan alam semesta dan menjadi sengsara. Sedangkan paramatman adalah pengetahuan tertinggi atau jiva yang telah mengetahui segalahnya (sarvajna).
            Nyaya memandang atman sebagai materi, sedangkan kesadaran adalah sifat dari atman tersebut. Atman adalah tempat kediaman dari jnana atau kecerdasan, pengetahuan dan kemapuan untuk mengetahui. Menurut nyaya semua panca indra dipengaruhi oleh jiva. Sehingga nyaya memandang pikiran adalah alat dari jiva untuk berfikir. Jiva dipandang akan tetap abadi selamanya walaupun badan, pikiran dan indra-indra lenyap. Ajaranya nyaya memandang bahwa atman atau jiva perorangan maha tahu, berkepriabadian dan sebagai yang menikmati.

2.3.3 Maya
Filsafat Nyaya ingin mencari pengetahuan yang benar (moksa) mengenai dunia ini dan bagaimana hubungannya denga pikiran manusia serta dirinya sendiri. Bila seseorang menguasai teknik logika dan penalaran dan mampu menerapkan secara penuh dalam hidup sehari-hari maka ia akan dapat melepaskan dirinya sediri dari segala bentuk penderitaan.
Menurut nyaya, bahwa dunia diluar manusia ini, terlepas dari pikiran. Artinya bahwa dunia ini berdiri sendiri. Kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra. Demikian halnya dengan pengetahuan suka dan duka yang dialami seseorang. Menurut nyaya segala sesuatu yang diketahui ini semata-mata melalui perantara pikiran, baik sesuatu yang terbatas maupun tak terbatas, manusia dan dewa. Oleh karena itu, system nyaya dapat disebut sebagai system yang realitas (nyata).
Nyaya menilai bahwa pengetahuan benar atau salah tergantung alat apa yang dugunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Dimana setiap pengetahuan menyatakan 4 keadaan yaitu subyek (pramana), obyek (yang diamati), pramiti (keadaan hasil dari pengamatan) dan cara untuk mengamati (pramana) yang terdiri dari pratyaksa, anumana, upaman dan sabda pramana.

2.3.4 Moksa
Pada umunya tujuan utama dari Darsana adalah moksa atau pembebasan bagi setiap jiva individu dari ikatan duniawi. Nyaya juga mengatakan bahwa tujuan utama dari kehidupan manusia adalah pembebasan. Untuk mencapai tujuan tersebut seseorang haru memperoleh pengetahuan yang benar atau tattva jnana, yaitu pengetahuan realitas sebagai realitas keseluruhan.
Fislsafat nyaya menekankan tiga tahap jalan memperoleh tujuan pengetahuan pembebasan yakni srvana, manana dan nididhyasana. Srvana adalah tahap dimana manusia haru mempelajari kitab suci dari orang-orang suci atau rsi. Tahap kedua yakni manana yaitu proses perenungan ajaran yang didapat dari para rsi, dan yang terakhir yakni nididhyasana yaitu tahap dimana seseorng harus berkontenplasi tentang roh, mengkonfirmasikan pengetahuanya dan mempraktekkan kebenaran didalam hidupnya.
Dengan mempraktekkan srvana, manana dan nididhyasana, seseorang akan sadar akan hakekat dari roh yang sepenuhnya berbeda dengan badan, pikiran, panca indra dan obyek lainya di dunia ini.

2.4 Pokok-pokok Ajaran
Nyaya Darsana merupakan ajaran yang mengedepakna mengenai bagaimana hakikan Brahman bisa dibuktikan dengan ilmu logika. Nyaya menilai segala sesuatu dapat dibuktikan secara logika atau rasional tergantung dari alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Seperti misalnya dunia ini yang terbentuk dari unsur panca mahabuta yang terdiri dari unsur atom-atom.
Teori penciptaan ini memiliki kesamaan dengan konsep Waisesika. Dimana dikatakan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan dengan tujuan yang telah direncanakan. Sehingga terdapat adanya hukum sebab akibat. Maka dari itu, untuk memperoleh kebenaran tersebut sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu:
  1. Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
  2. Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
  3. Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
  4. Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
  5. Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
  6. Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
  7. Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
  8. Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
  9. Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
  10. Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
  11. Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
  12. Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
  13. Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
  14. Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan, jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
  15. Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
  16. Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Didalam usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.

2.5.1 Epistemologi
Bagi Nyaya, dibutuhkan instrumen lain atau alat (pramana) agar pengetahuan awal (yang umumnya masih mentah serapan inderawi) bisa valid. Maka dibangunlah empat alat (catur pramana), yaitu Pratyaksa, Anumana, Upamana, dan Sabdha, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Keempat pramana ini adalah sistem Epistemologi Nyaya.

1. Pratyakasa Pramana (Pengamatan)
Pramana pertama adalah Pratyaksa.Pratyaksa adalah pengamatan. Cara kerjanya seperti ini. Segala sesuatu yang eksis di luar kita (manusia) bisa diamati keberadaannya selama ia dicerap panca indera. Di sini kita bisa lihat bahwa Nyaya betul-betul realis-empiris. Pandangan seperti ini belakangan baru berkembang di Barat beberapa abad setelah Masehi, tepatnya pada filsafat Empirisme-nya David Hume.
Menurut Nyaya, ada hubungan antara kita (manusia) dan segala sesuatu yang eksis sebagai sasaran. Sasaran ini, jika kita memakai pendekatan Nyaya yang realis-empiris, tentu mesti menempati ruang dan waktu. Singkatnya, antara manusia sebagai subjek pengamat dan benda sebagai objek yang diamati ada sebuah hubungan di antara keduanya. Hubungan ini bukanlah sensasi-sensasi semata, tetapi hubungan tersebut ada, nyata, dan riil.
Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya.
Pratyaksa ada yang bersifat tidak ditentukan (nirwikalpa) dan ada yang pula ditentukan (sawikalpa). Jika kita mengamati sebuah objek sambil lalu, itu adalahNirwikalpa; kita belum mengetahui sepenuhnya objek tersebut karena yang kita tahu hanyalah bahwa ia ada. Dan untuk sampai ke pemahaman yang menyeluruh tentang objek tersebut, kita mesti mengamatinya dengan seksama apa-apa saja yang khas menyangkut objek tersebut dan ini adalah Sawikalpa.
Dengan Sawikalpa ini kita dapat mengetahui sebuah objek misalnya, atau katakanlah benda, bahwa ia itu adalah ini, warnanya ini, bentuknya ini, dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak hal yang menyangkut Pratyaksa, misalnya yang dapat diamati bukan hanya substansi tetapi juga aksiden-aksiden-nya yang abhawa. Di samping itu ada juga pengetahuan yang bisa keliru namun bukan berarti eksistensi yang kita amati dan lantas keliru itu memang salah adanya. Sebaliknya ia eksis, ada secara nyata, mungkin di tempat lain atau di mana saja.

2. Anumana Pramana (Penyimpulan)
Anumana adalah pramana yang cukup penting karena ini adalah penyimpulan. Konsep dasarnya adalah bahwa antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati mesti terdapat sesuatu antara. Ini sangat berbeda dengan silogisme Aristoteles.Silogisme Nyaya tetap berdasarkan realitas, dan perantara antara subjek dan objek yang diamati tersebut juga bersifat empiris.
Contohnya gunung yang mengeluarkan asap. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi? Gunung adalah objek; kita mengamatinya dan kita melihat ada asap. Sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa gunung tersebut berapi, di titik ini kita mesti menyelidiki perantara-nya yang empiris bahwa kita pernah membakar sampah, memasak dan lain sebagainya. Dari pengalaman ini, kita menyaksikan bahwa sebelum sampah itu terbakar, mesti lebih dulu ada asap.
Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil (anumana) menurut Nyaya tidaklah abstrak, tetapi nyata bahwa kita pernah menyaksikan bahwa asap selalu disusul oleh api atau sebaliknya. Dan ketika kita melihat gunung yang mengeluarkan asap, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita saksikan dan alami berkata seperti itu, maka di saat itu pula kita langsung menyimpulkan bahwa gunung itu adalah gunung berapi, karena setiap ada asap pasti ada api walaupun di puncak gunung tersebut apinya belum tampak. Singkatnya, pengalaman kita akan setiap ada asap pasti ada api dan sebaliknya adalah posisi antara di dalam metode penarikan kesimpulan (anumana) menurut Nyaya.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu:
  1. Pratijna: memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
  2. Hetu: alasan penyimpulan
  3. Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
  4. Upanaya: pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
  5. Nigamana: penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya. (Krishna, 2013)

3. Upamana Pramana (Perbandingan)
Upamana adalah cara memperoleh pengetahuan dengan cara analogiatau perbandingan. Konsep dasar Upamana adalah membandingkan (menganalogikan) sesuatu dengan sesuatu yang lain yang hampir sama agar apa yang kita bandingkan tersebut dipahami oleh orang lain walaupun orang tersebut belum pernah menyaksikan secara langsung apa yang kita maksudkan. Namun, penetahuan yang diperoleh dengan cara ini tergantung dari jumlah variable yang dibandingkan, semakin banyak variable yang dibandingkan maka, akan semakin banyak untuk mendapatkan kemungkinan benar.
Misalnya: Saya mengatakan kepada Si A bahwa X itu berbahaya. Cilakanya Si A belum pernah melihat langsung apa itu X, otomatis dia tidak tahu. Selanjutnya saya harus memutar otak agar Si A tahu. Dalam situasi buntu seperti ini, saya mengambil sebuah perumpamaan yang mirip dengan X tersebut, katakanlah Z. Karena Z ini sudah akrab di mata Si A, barulah dia memahami. Suatu saat nanti, ketika dia melihat sesuatu yang mirip dengan yang pernah saya bandingkan tersebut (Z), maka otomatis Si A akan menyimpulkan bahwa inilah X, karena mirip dengan Z.

4. Sabda Pramana (Penyaksian)
Pramana yang terakhir adalah Sabdha atau kesaksian.Pengetahuan bisa didapatkan melalui kesaksian orang yang mumpunyai tentang sesuatu hal dan yang bisa dipercaya.Dalam hal ini, Weda adalah kesaksian yang bisa dipercaya kebenarannya.Orang yang bisa dipercaya kesaksiannya sebagai sumber pengetahuan disebut Laukika (logika), sementara kitab suci Weda sebagai sumber pengetahuan disebut Vaidika.Walaupun kita tidak dapat melihat secara langsung, tapi kita percaya kepada orang yang pernah membaca kitab weda tersebut.
Contoh laukika (logika): Seseorang yang menderita sakit percaya bahwa penyakitnya TBC; dia sangat percaya karena yang memberitahukannya adalah dokter. Dokter dalam konteks ini adalah orang yang dipercayai kesaksiannya (laukika). Sebaliknya, tentu si sakit ini tidak akan percaya seratus persen bilamana yang menyimpulkan sakitnya itu adalah petani atau nelayan. Mengapa nelayan dan petani tidak tahu-menahu soal penyakit dalam manusia. Begitu juga misalnya jika saya mau tahu kapan waktu tanam tiba, tentu saya mesti menanyakannya kepada petani, bukan kepada dokter.

2.5.2 Aksiologi
Nyaya Darsana mengajarakan tentang pembebasan. Menurut pandanga nyaya bahwa semua jiwa perorangan akan dapat mencapai pengetahuan yang benar dan kelepasan bila Tuhan berkenan menganugrahinya. Maka dari itu, untuk mendapatkan kebebasan muncul tiga cara yang dikemukan oleh nyaya yakni srvana, manana dan nididhyasana. Seseorang yang memiliki pengetahuan tersebut akan mendapatkan kebenaran yang dapat mengusir kegelapan dari identifikasi diri dan kesalapahaman (mitya-jnana) menyangkut keakuan dan keengkauan.
Bila hal ini yang terjadi maka manusia menghapuskan nafsunya dan dorongan hatinya serta mulai mewujudkan tugas-tugasnya sendiri tanpa mempunyai keinginan untuk memetik buah dari perbuatanya. Api pengetahuan tentang kebenaran membakar karma masa lalu seseorang seperi benih yang akan menjadi seperti tidak besemai. Dengan demikian pengetahuan yang benar akan membawah manusia kesiklus pembebasan atau moksa.

BAB III
 KESIMPULAN
Sad Darsana adalah enam sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Nyaya merupakan dasar dari Sad Darsana yang mengandung Tarka-Vidya (ilmu perdebatan) dan Vada-Vidya (ilmu diskusi). Nyaya bersumber dari Nyaya Sutra yang ditulis Rsi Gautama pada abad ke-4 kemudian diulas oleh Rsi Vatsyayana yang berjudul Nyaya Bhasya (ulasan tentang Nyaya).
Filsafat Nyaya menegakkan keberadaan Isvara sehingga dikenal sebagai alat utama untuk meyakini sesuatu objek dengan penyimpulan yang tak dapat dihindari. Pandangan Filsafat Nyaya dapat memperoleh pengetahuan dengan pikiran dan dibantu dengan indera. Filsafat Nyaya dikatakan benar atau salah tergantung dari alat yang digunakan, yaitu: Pramata (subjek pengamatan), Prameya (objek yang diamati), Pramiti (kedalaman hasil pengamatan), Pramana (cara pengamatan).

DAFTAR PUSTAKA
Sudiani, Ni Nyoman, SE.,SPdH., M.Fil.H, Materi Ajar: Mata Kuliah Darsana, STAH Dharma Nusantara, Jakarta, 2013.
Donder, I Ketut, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta, Paramita, Surabaya, 2006.
Maswinara, I Wayan, Sistem Filsafat Hindu; Sarva Darsana Samgraha, Paramita, Surabaya, 2006.


Advaita Vedanta (Darsana)

DARSANA
ADVAITA VEDANTA
Dosen Pengampu:
Dr. Ni Nyoman Sudiani, SE, S.Pd.H, M.Fil.H




Disusun Oleh:
Sundari Janur Anggita   
   1509.10.0039    
    (Penerangan Agama Hindu)


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Vedanta Darsana adalah yang terakhir dari enam sistem filsafat India (Sad Darsana) yang mengakui otoritas Veda (Astika), dan mendapat tempat terpenting di antara mereka. Pustaka atau literature Vedanta adalah Upanisad, Brahmasutra dan Bhagavadgita, ketiganya disebut Prastanatraya (tiga jalan besar). Dari ketiganya, Brahmasutra dari Badarayana menempati posisi kunci. Sutra-sutra itu biasanya diekspresikan dalam kalimat singkat dan sering ambigu (memiliki arti lebih dari satu) dan secara alamiah menimbulkan tafsir berbeda yang menjadi sebab lahirnya tiga cabang Vedanta yang terkenal, yaitu; Advaita, Dvaita dan Visitadvaita, (Putra, 2014; 91-92).
Vedanta terdiri dari kata Sansekerta “Veda” dan “Anta”. Veda berarti ajaran-ajaran suci yang berarti juga kitab sucinya Agama Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Anta berarti akhir, jadi Vedanta berarti bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat inti dari kerohanian Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani, 2012; 67).
Vedanta sendiri merupakan bagian dari Mimamsa. Kata Mimamsa memiliki makna Penyelidikan. Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan Utara Mimamsa. Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Veda yang pertama yaitu kitab Brahmana dan Kalpasutra. Sedangkan Utara Mimamsa atau Vedanta yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Veda yang kedua, yaitu kitab Upanisad. Purva Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa, (Ngurah, 1999; 125).
Advaita merupakan salah satu aliran filsafat Vedanta yang juga membahas tentang hakekat Brahman, Atman, Maya dan Moksa. Namun, setiap aliran filsafat memiliki pokok-pokok ajaran dengan penekanan yang berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan sebagai berikut.

1.2       Rumusan Masalah
1.2.1    Bagaimanakah pandangan Advaita Vedanta terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya dan Moksa?
1.2.2    Bagaimanakah pokok-pokok ajaran dalam Advaita Vedanta?

1.3       Tujuan
1.3.1    Pembaca dapat mengetahui dan memahami pandangan Advaita Vedanta terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya, dan Moksa.
1.3.2    Pembaca dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran dalam Advaita Vedanta.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Advaita Vedanta
Advaita berasal dari dua kata yakni “A” yang artinya tidak, dan “Dwaita” yang artinya dualisme, jadi Advaita berarti tiada dualisme. Advaita Vedanta adalah bagianakhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat monoisme untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa, (Sudiani, 2012; 67).
Sastra/ kitab yang menjadi pedoman mendasar bagi penganut ajaran Vedanta disebut Prasthanatrayi yaitu terdiri atas Upanishad, Bhagavad Gita dan Brahma Sutra. Sedangkan orang yang pertama secara eksplisit menyatukan prinsip-prinsip Advaita Vedanta adalah Adi Shankara.
Sri Sankara, yang di anggap sebagai Avatara dari Siva, merupakan seseorang yang jenius yang hebat dan mengagumkan, serta menguasai logika. Ia adalah seorang yang bijak tentang realisasi tertinggi, dimana filsafatnya telah member hiburan, kedamaian dan pencerahan pada orang-orang yang tak terhitung jumlahnya, baik dari timur maupun dari barat. Para pemikir barat menundukkan kepalanya pada kaki padma Sri Sankara. Filsafatnya telah menyejukkan kesedihan dan kesusahan dari orang-orang yang sangat sedih dan memberinya harapan, kegembiraan, kebijaksanaan, kesempurnaan, kemerdekaan dan ketenangan pada banyak orang dan sistem filsafatnya membuat kagum seluruh dunia.
Beliau memiliki 4 orang murid, yaitu: Padma-pada, Hastamalaka, Suresvara atau Mandana dan Trotaka dan seorang muridnya yang lain, yang bernama Ananda-Giri menulis sejarah kegigihannya membantah, yang di sebut Sankara-Vijaya, yang secara tradisi membuatnya sebagai pendiri sekte Saiva yang utama, yaitu Dasa-Nami-Dandins atau Sepuluh orang peminta-minta. Disamping ulasan-ulasan beliau terhadap kitab-kitab upanisad, Brahma Sutra, Vedanta Sutra, Bhagavad Gita dan Mahabarata, beliau juga menulis beberapa buah buku antara lain: Atma-Bodha, Ananda-Lahari, Jnana Bodhini, Mani-ratna-mala.

2.2       Sejarah Advaita Vedanta
Tokoh pendiri Advaita Vedanta ini adalah Sankara yang diperkirakan hidup pada tahun 788-820 Masehi. Akan tetapi di dalam kitab-kitab Upanisad telah banyak disebutkan adanya guru-guru kerohanian yang telah mengajarkan tentang monoisme, yaitu; Yajnavalkya dan Uddalaka. Tokoh-tokoh monoisme yang muncul kemudian sesungguhnya mengembangkan ajaran yang telah ada dalam kitab Upanisad itu. Hal ini dapat dipahami oleh karena ajaran Advaita pada hakekatnya bersumber dari Vedanta-sutra atau kitab-kitab Upanisad, (Sumawa & Krisnu, 1996; 205).
Orang pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada, yang merupakan Parama Guru Sri Sankara. Gaudapada dalam Mandukya Karika-nya yang terkenal telah menguraikan ajaran inti dari ajaran Advaita Vedanta,(Sudiani, 2012; 72).

2.3       Pandangan Advaita Vedanta
2.3.1    Brahman
Advaita Vedanta menyatakan dalam ajarannya hanya Brahman yang ada, yang tunggal, sedangkan jiwa perorangan adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri dengan sarana tambahan (Upadhi), (Sudiani, 2012; 73).Karena Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati, (Sudiani, 2012; 82).
Menurut Sankara, Brahman mempunyai dua wujud yaitu Para Brahman dan Apara Brahman. Para Brahman adalah perwujudan Tuhan yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan, dan tanpa pembatasan (Niruphadi). Dalam wujud seperti ini Tuhan disebut Nirguna Brahman. Nirguna juga disamakan dengan Sunya Niskala, Parama Siva yaitu istilah yang digunakan untuk memahami hakekat Tuhan dalam keadaan-Nya semula. Dalam istilah filsafat dikatakan sebagai alam transcendental, yang artinya ada diluar jangkauan pikiran manusia, (Sudiani, 2012; 75).
Apara Brahman adalah perwujudan Brahman yang relative dalam artian Brahman memiliki sifat-sifat dan pembatasan. Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta. Maka itu Tuhan dipandang sebagai Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa. Dalam keadaan seperti ini Tuhan dipandang sebagai Saguna Brahman atau Isvara yang dipuja oleh manusia, (Sudiani, 2012; 75).
2.3.2    Atman
Hubungan Brahman dengan jiwa perorangan tidak dapat disamakan dengan hubungan antara Brahman dengan dunia. Jiwa perorangan tidak dapat dipandang sebagai penampakan khayalan belaka dari Brahman, sebab jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma saja Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana tambahan (upadhi) yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri, (Sudiani, 2012; 82).
Hubungan antara Brahman dengan Jiwa digambarkan sebagai “Kerang Perak” yang dilihat dengan menggunakan “Kaca Kuning”. Kerang yang pada dasarnya berwarna perak itu, tampak kuning bila dilihat dengan sarana tambahan berupa “Kaca Kuning”. “Kerang berwarna kuning” bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang berwarna perak”. Yang tampak sama-sama kerangnya, Cuma saja warnanya yang berbeda pada penampakan adalah “Kerang berwarna kuning” sedangkan pada kenyataannya “Kerang berwarna perak”. “Kerang Kuning” atau Jiwa perorangan bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang Perak” atau Brahman seperti halnya penampakan alam semesta. Ada unsur-unsur yang identik antara Jiwa dengan Brahman, hanya saja Brahman memiliki keadaan yang membatasi unsur-unsur yang identic itu. Keadaan yang membatasi itu adalah alat batin atau Antah Karana (Upadhi), (Sudiani, 2012; 82).
Disamping Antah Karana, ada lagi sarana tambahan yang lain yaitu berupa hasil perbuatan sepanjang hidup manusia yang disebut dengan Karma Wasana. Karma Wasana ini ada pada tubuh halus yang kemudian menentukan kehidupan manusia selanjutnya. Dengan adanya sarana tambahan yang berlapis-lapis itu menyebabkan pengertian “Aku” menjadi manusia yang sangat unik dan ruwet sekali, karena terdiri dari campuran Atman dan bukan Atman. Karena adanya Avidya keduanya disamakan yang akibatnya menimbulkan penderitaan, (Sudiani, 2012; 82).
2.3.3    Maya
Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan alam semesta, Sankara menerima teori Samkya yakni pertemuan Purusa dan Prakerti kemudian dipengaruhi oleh Triguna sehingga lahirlah secara berturut-turut; Budhi, Ahamkara (ego), Manas, Dasendria, Panca Tanmantra dan Panca Mahabhuta. Gabungan dari Panca Mahabhuta inilah muncul alam semesta beserta isinya, (Sudiani, 2012; 73).
2.3.4    Moksa
Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati itu maka ia mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman. Atman menurut Advaita adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri disertai dengan sarana tambahan atau upadhi yang membatasi wujudnya yang sejati. Adapun sarana tambahan itu adalah budhi, ahamkara (ego), manas, dan pembantu-pembantunya yaitu Jnanendria dan Karmendria, (Sudiani, 2012; 81).

2.4       Pokok-pokok Ajaran Advaita Vedanta
2.4.1    Mengikuti Petunjuk Guru
Hendaklah seseorang dalam proses belajar itu mengikuti tiga petunjuk guru yaitu:
Mendengarkan perintah guru sebaik-baiknya, mengartikan perintah-perintah itu melalui pertimbangan-pertimbangan yang dalam sehingga bentuk keragu-raguan lenyap, dan melakukan meditasi berulang-ulang dan kebenaran yang diajarkan oleh sang guru, (Sudiani, 2012; 84).
2.4.2    Hanya Keberadaan Brahman Yang Mutlak
Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang demikian keberadaan. Di luar Brahman keadaannya adalah a-sat, artinya bukan keberadaan yang ada secara kekal. Namun di dalam pengalaman hidup sehari-hari dunia kelihatannya benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan diamati, (Sumawa & Krisnu, 1996; 209). Ajaran Advaita dari Sankara menegaskan sifat transenden dari Brahman yang tiada dua-Nya dan jugadualisme daripada alam semesta termasuk Isvara yang memerintahnya. Yang nyata adalah Brahman atau Atman. Predikat apapun tidak bisa diberikan kepada Brahman karena setiap predikat mencerminkan kegandaan, (Atmaja, 1989; 11).


2.4.3    Pencapaian Kelepasan
Tujuan hidup manusia adalah untuk mengetahui dan merealisasikan kebenaran, untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang mencapai tujuab itu ia akan berubah pikirannya, baik mengenai dirinya maupun yang mengenai dunia. Perubahan ini menghasilkan kelepasan yaitu kembali keasal-Nya, Brahman. Sarana untuk mencapai itu menurut Advaita ialah melalui:
Wairagya, yaitu melaksanakan disiplin yang praktis dan tidak terikat pada sesuatu yang ada disekitarnya. Berusaha mendapatkan pengetahuan yang tertinggi (Jnana) dan mengubah pengetahuan ini menjadi pengalaman langsung yaitu dengan belajar kepada guru mengenai Advaita, sehingga mengetahui benar-benar bahwa Atman adalah Brahman seutuhnya· Berusaha memancarkan pengetahuan ini dalam hidup sehari hari,(Sudiani, 2012; 84).



















BAB III
METODOLOGI

3.1       Epistimologi Advaita Vedanta
Dalam Advaita Vedanta menyatakan bahwa ada enam jenis pramana, yaitu: pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana (perbandingan), sabda (kesaksian), arthapati (perkiraan), dan anupalabdhi (tanpa pengamatan). Pandangan Sankara dan Kumarila Bhatta berbeda tentang kemunculan Veda. Kumirila Bhatta mengatakan bahwa Veda tanpa penyusun, maksudnya Veda tidak diciptakan oleh manusia maupun oleh Tuhan. Sedangkan Sankara menyatakan bahwa Veda diciptakan oleh Tuhan, dan keberadaan Veda adalah kekal.
3.1.1    Pratyaksa (Pengamatan Langsung)
Pratyaksa merupakan sumber pengetahuan yang paling tinggi. Proses untuk mengetahui keberan dari suatu pengetahuan dengan menggunakan indria, dalam hal ini indria berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Tetapi, ada juga pengamatan yang bersifat transendental yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yakni sebagai berikut:
1.      Nirvikalpa
Merupakan suatu pengamatan terhadap objek tanpa penilaian, misalnya: ketika seseorang melihat sapi dia hanya mengetahui keberadaan sapi itu tanpa mengetui lebih luas tentang seberapa besar tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.
2.      Savikalpa
Savikalpa merupakan suatu pengamatan terhadap objek dengan suatu penilaian. miaslnya: ketika seseorang melihat sapi, dia pasti juga akan mengamati tentang tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.

3.1.2    Anumana (Penyimpulan)
Anuamana berarti cara untuk mendapatkan kebenaran suatu pengetahuan dengan cara menyimpulkan. Penyimpulan adalah suatu proses penalaran dimana akan melewati suatu tahapan-tahapan berpikir tertentu yang diperlukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Ada 5 tahapan dalam proses penyimpulan antara lain:
  1. Pratijna: memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamataan misalnya gunung itu berapi.
  2. Hetu: alasan penyimpulan dimanadalam hal ini terlihat ada asap yang keluar dari gunung tersebut
  3. Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang ada dalam hal ini adalah bahwa segala yang berasap itu tentu ada apinya.
  4. Upanaya: Pemakaian aturan umum itu pada kenyataannya yang terlihat, yaitu bahwa jelas gunung itu berapi.
  5. Nigamana: berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya, dengan pernyataan bahwa gunung itu berapi, (Maswinara, 1999;130).

3.1.3    Upamana (Perbandingan)
Pandangan Advaita Vedanta mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Advaita selain menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima perbandingan pula sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Advaita pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang diterima. Contoh: pada saat melihat cerurut (tikus kecil) orang menerimanya sebagai tikus yang diketahui terlebih dulu, kemudian dia memperoleh pengetahuan bahwa tikus yang dia ingat sama persis seperti tikus yang ia lihat, (Sudiani, 2012; 78).

3.1.4    Sabda (kesaksian)
Bagi para Advaita Vedanta alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian atau sabda, yaitu sabda suci Veda yang mengandung kebenaran mutlak. Veda menurut Sankara diciptakan oleh Tuhan dan bersifat kekal. Pada waktu dunia Pralaya, Veda ikut lenyap, tetapi kapan dunia ini diciptakan maka Veda akan muncul kembali untuk membimbing umat manusia kea rah kesempurnaan. Advaita juga mengakui bahwa pengetahuan yang didapat melalui sabda pramana dipandang benar bila berasal dari orang yang dapat dipercaya. Misalnya pertanyaan-pertanyaan para Maha Rsi tentang kebenaran adanya Tuhan dan kesucian-kesucian ajaran-Nya. Ajaran Tuhan yang ada pada kitab suci Veda menurut Advaita hendaknya dijadikan pedoman dalam hidup ini demi kesempurnaan umat manusia, (Sudiani, 2012; 78).

3.1.5    Arthapatti (persangkaan atau perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berawalan satu dengan yang lainnya. Bila memberikan penjelasan kepada orang lain tentang sesuatu benda yang belum pernah dilihat sebelunnya, kita harus menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenal, sehingga orang itu akan mudah mengerti. Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan pula merupakan suatu bentuk perbandingan. Contoh: kita melihat seorang laki-laki berbadan gemuk sedangkan ia tidak pernah dilihat makan pada siang hari, disini kita mendapat suatu kenyataan yang bertentangan antara badannya yang gemuk dengan puasa yang dilakukannya. Kita tidak dapat menemukan jalan damai untuk kedua fakta ini yaitu kegemukan dan tidak makan atau puasa, kecuali kita menerima perkiraan tentulah orang laki-laki itu makan pada waktu malam hari, (Sudiani, 2012; 79).

3.1.6    Anupalabdi (tanpa pengamatan)
Anupalabdi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek dikarenkan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada pertanyaan dari seseorang, bagaimana saya tahu tentang ketidakadaan itu? Maka jawabannya: lihatlah dan katakan apakah ada pot bunga di atas meja ini? Saya tidak dapat mengatakan hal tersebut, karena benda itu memang tidak ada. Terhadap hal ini oleh Advaita dikatakan bahwa ketidakadaan pot di atas meja itu diketahui karena tidak adanya pot di atas meja, maka dari itu tidak dapat dipahami, (Sudiani, 2012; 80).



3.2       Aksiologi Advaita Vedanta
a.       Mampu membedakan hal-hal yang bersifat kekal dan tidak kekal
b.      Bisa mengatasi keinginan yang berlebihan akan kenikmatan terhadap objek-objek keduniaan pada waktu sekarang dan selanjutnya
c.       Memiliki pemikiran-pemikiran yang luhur seperti; kesabaran, cinta kasih, dan kekuatan berkonsentrasi
d.      Mengarahkan kemauan dan keinginan untuk menuju kepada kelepasan.
e.       Meyakini bahwa Atman itu adalah Brahman seutuhnya yang tidak dapat dibagi-bagi.
f.       Meyakini bahwa hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta isinya adalah ilusi belaka.




















BAB IV
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
Advaita Vedanta adalah bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat monoisme untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa.
Inti sari filsafat Advaita Vedanta dari Sri Sankara terkandung dalam separoh sloka: “BRAHMA SATYAM JAGAN MITHYA, JIVO BRAHMAIVA NA APARAH,”yang artinya bahwa Brahman (Yang Mutlak) sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan Jiva tidak berbeda dengan Brahman, (Sudiani, 2012; 72).
  1. Pandangan Advaita Vedanta
·         Brahman
Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta isinya adalah maya. Sedangkan Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati.
·         Atman
Jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma saja Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana tambahan Antah Karana (upadhi) yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri. Selain Antah Karana, Karma Wasana juga ada pada tubuh halus yang kemudian menentukan kehidupan manusia selanjutnya.
·         Maya
Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan alam semesta, Sankara menerima teori Samkya.
·         Moksa
Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati itu maka ia mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman.
  1. Pokok-pokok ajaran Advaita Vedanta
·         Mengikuti petunjuk guru
·         Hanya keberadaan Brahman yang mutlak
·         Pencapaian kebebasan
  1. Epistimologi ajaran Advaita mengakui adanya enam jenis, dua dari yang pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
·         Pratyaksa (pengamatan langsung)
·         Anumana (kesimpulan)
·         Upamana (perbandingan)
·         Sabda (kesaksian)
·         Arthapati (persangkaan atau perkiraan tanpa bukti)
·         Anupalabdi (tanpa pengamatan).
  1. Aksiologi Advaita Vedanta
·         Atman adalah Brahman seutuhnya yang tidak dapat dibagi-bagi, dengan merealisasikan hal itu akan membuat seseorang mencapai kelepasan.
·         Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta isinya adalah ilusi belaka.
·         Timbul cinta kasih yang sangat mendalam terhadap semua mahluk karena terealisasikannya ajaran “Tat Twam Asi”.
·         Menyatukan berbagai aliran agama karena Advaita merupakan filsafat kesatuan dan menghormati semua mahluk.










DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, I.B Oka Punia. 1989. Upanisad-Upanisad Utama. Yayasan Parijata: Jakarta Selatan
Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha).Surabaya: Paramita.
Ngurah, I Gusti Made dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Paramita: Surabaya.
Putra, Ngakan Putu. 2014. Kamu Adalah Tuhan. Media Hindu.
Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata kuliah Darsana.
Sumawa, I Wayan & Krisnu, Djokorda Raka. 1996. Materi Pokok Darsana.
https://Sundaridharma.blogspot.co.id


Hari Pertama UAS, Banyak Mahasiswa Belum Siap

Jakarta- Senin (2/7); Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta (STAH DNJ) sedang melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) hari per...